Keberadaan dan peradaban manusia sejak semula tidak terpisah dari pembentukan karakter yang berdampak positif terhadap perkembangan emo-sional, spiritual, sosial, dan kepribadian seseorang. Sejarah mencatat bahwa sejak keberadaan manusia pergumulan pembentukan karakter sudah ada dan diwarisi dari generasi ke generasi. Manusia pertama sekalipun diyakini melewati proses pembentukkan karakter yang ditampilkan dalam interaksi edukatif antara Sang Pencipta dan manusia pertama di Taman Eden. Melalui interaksi di padang gurun, Tuhan membentuk dan mendidik kawanan Israel menuju tanah terjanji. Singkatnya, pendidikan karakter sebenarnya seumur dengan eksistensi manusia di dunia. Ini bukan hal yang terlampau istimewa. Penamaan dan implementasinya tampak dipoles dengan sentuhan ilmiah hingga berkesan menjadi sesuatu hal baru.
Sejarah pendidikan karakter di Indonesia secara formal sudah digagaskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam konsepnya, Pendidikan Budi Pekerti. Esensi dasar pendidikan ini terarah pada pembentukan akhlak manusia menjadi manusia yang lebih beradab dalam interaksi intra dan inter dengan sesamanya. Ia berkeyakinan bahwa pembangunan jati diri dan peradaban suatu bangsa ditentukan oleh pendidikan moral seseorang sejak dini dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan karakter sangat dibutuhkan oleh setiap orang untuk menjadi pribadi yang baik, bijaksana, jujur, bertanggung jawab, dan bisa menghormati orang lain dalam relasi sosialnya. Karenanya, pendidikan apapun hendaknya menyentuh dimensi terhakiki dalam pribadi manusia, seperti pembentukan watak atau sifat dan keperibadiannya.
Namun, arah pendidikan dari waktu ke waktu mengalami dinamika perubahan sesuai dengan tuntutan zamannya. Pendidikan Budi Pekerti kemudian seakan hilang dari perbincangan dalam dunia pendidikan sebab diyakini bahwa pendidikan karakter seyogyanya sudah dimulai dari pendidikan dasar dalam keluarga dan terintegrasi dalam seluruh dinamika pembelajaran di lembaga pendidikan. Rupanya, asumsi ini mengalami pergeseran yang ditandai dengan kemerosotan nilai-nilai moral dalam masyarakat dewasa ini yang disebabkan oleh kurangnya fondasi pembentukan karakter dan pendidikan moral sejak dini.
Dalam carut-marut pendidikan ini, Presiden Jokowi hadir dengan gagasan Revolusi Mental melalui gerakan Penguatan Pendidikan Karakter yang mengarah pada perubahan cara pikir, bersikap, dan bertindak yang didasarkan pada pertimbangan nilai-nilai karakter yang kokoh di atas dasar pertimbangan moral, spirittual, dan keilmuan. Sasaran utama gerakan ini adalah pembentukan generasi milenial yang memiliki kepribadian, watak yang dewasa dalam pola bertingkah laku.
Generasi milenial adalah generasi emas bangsa yang perlu dibekali dengan pendidikan karakter yang memadai agar mampu membuat pilihan dan keputusan dalam dinamika perkembangan dunia teknologi dan telekomunikasi yang begitu pesat ini. Mereka perlu dibekali karena pembentukan karakter akan menentukan, bagaimana seseorang menjalani hidupnya. Kaum milenial harus memiliki kualitas perbuatan, tindakan atau perilaku yang beradab serta mampu membedakan, mana yang baik dan benar dalam hidupnya.
Penanaman nilai ini hendaknya sungguh terinternalisasi dalam diri setiap pribadi agar mereka dapat mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pembentukan karakter kaum milenial ini sejalan dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peseta didik agar menjadi manusia yag beriman, dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Inilah bentuk investasi masa depan bangsa yang sangat bernilai harganya, yaitu investasi manusia yang memiliki akhlak yang mulia dan luhur. Ketercapaian pendidikan karakter sangat tergantung pada inter-relasi dan kerja sama antara tiga pilar pendidika yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Semua stakeholder dalam pendidikan karakter generasi milenial perlu memainkan peran dan tanggung jawab yang aktif sehingga arah pencapaian investasi manusia masa depan ini dapat tercapai. Generasi milenial adalah generasi masa depan yang memiliki sejuta potensi dan kesempatan untuk memberikan sumbangan yang bernilai terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Jika pendidikan karakter saat ini berhasil, maka masa depan masyarakat dan negara akan cemerlang karena kita memiliki pribadi pemimpin masa depan yang berlimu dan berakhlak mulia. Semoga kita semua menjadi generasi masa depan yang terbuka dan bersedia dibentuk menjadi manusia yang lebih beradab.
Fr. M. Vinsensius Laga Payong, BHK