Home / Sharing Gagasan / Membangun Karakter Anak di Era Digital

Membangun Karakter Anak di Era Digital

Karakter adalah sifat dasar bawaan manusia sejak lahir yang membedakan seseorang dengan yang lain. Sifat dasar ini berupa nilai-nilai universal, perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, maupun lingkungan. Nilai-nilai ini terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan  perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter hanya bisa terjadi karena perkembangan dasar yang terkena pengaruh ajar. Pengaruh ajar didapatkan dari orangtua di rumah, guru di sekolah, masyarakat, dan juga melalui media sosial. Maka, perlu dipastikan bahwa pengaruh ajar yang diperoleh adalah dari sumber yang tepat dan bernilai postif.

Keluarga adalah cikal bakal terbentuknya karakter dasar anak, yang sangat penting dan fundamental. Di sinilah anak berproses dan bertumbuh melewati berbagai fase penting dan mendasar dalam kehidupannya, termasuk nilai atau karakter dasar yang didapatkan dari ayah dan ibunya dalam kehidupan keluarga. Sekolah melanjutkan cikal bakal karakter dasar yang sudah terbentuk dalam kehidupan keluarga dengan memberikan pengetahuan, pemahaman, membangun kesadaran, dan komitmen bagi anak untuk bertindak melaksanakan nilai-nilai dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sekitar. Sementara itu, masyarakat memperkuat pemahaman anak akan pentingnya karakter dalam kehidupan manusia sebagai makluk sosial dengan memberikan contoh dan keteladanan secara nyata dalam kata, sikap, dan perbuatan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan demikian, sistem pendidikan karakter yang ideal adalah dimulai dari kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang merupakan tri pusat pembentukan karakter. Namun, sampai saat ini pendidikan karakter masih manjadi topik yang diperbincangkan dari berbagai pihak, terutama orangtua dan masyarakat. Desakan orangtua dan masyarakat akan perilaku dari generasi milenial menunjukkan ketidak-puasan akan kualitas lembaga pendidikan saat ini. Di sisi lain, kontribusi yang diberikan orangtua dan masyarakat dalam proses pendidikan karakter bagi anak-anak tidak seideal dengan harapan mereka terhadap lembaga-lembaga pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak keluarga dan masyarakat saat ini tak bisa lagi diandalkan sebagai basis pendidikan karakter bagi generasi milenial ini.

Saat ini, kita bisa melihat dan menyaksikan sendiri hasil proses pembentukan dari lingkungan, tempat mereka berinteraksi. Terjadi banyak perilaku yang menyimpang, seperti menurunnya daya juang, mental cari gampang, malas, membolos, tawuran antarpelajar, pergaulan bebas, penggunaan narkoba, dan kekerasan. Selain itu, disiplin lalu lintas, budaya antre, budaya baca, gaya hidup bersih dan sehat, dan keinginan menghagai lingkungan masih sangat minim dan jauh dari harapan. Hal ini menunjukkan bahwa belum optimalnya pengembangan pendidikan karakter di lembaga pendidikan, di samping karena kondisi keluarga dan lingkungan yang tidak mendukung serta pengaruh media sosial yang sudah menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan manusia.

Pada dasarnya, media sosial merupakan bagian dari hidup dan imbas dari perkembangan zaman yang mau dan tidak mau harus diikuti. Namun, harus bijak agar dapat dimanfaatkan dengan baik sesuai fungsinya untuk menunjang kehidupan manusia. Juga harus tahu batasnya, kapan dan di mana media itu digunakan. Bila tidak, hal ini akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan karakater generasi milenial, baik anak usia dini, remaja, maupun orang dewasa. Karena itu, perlu adanya pembinaan karakter dan edukasi tentang fungsi, bahaya, dan dampak penggunaan media komunikasi bagi anak usia dini, remaja, dan orang dewasa.

Saat ini, media sosial telah mengubah banyak hal dalam kehidupan mental manusia. Hak anak yang seharusnya ia dapatkan berupa sentuhan kasih sayang, ikatan emosi, perhatian, dan keterlibatan dari orangtua dalam hidupnya ketika anak membutuhkan, digantikan oleh media. Dengan demikian, secara tidak langsung anak dipaksa orangtua untuk mencari dan mendapatkannya dari media sosial, baik berupa game online, film, video, maupun aplikasi medsos lainnya. Perlu diingat bahwa hal ini hanya berupa hiburan ketika anak dalam keadaan jenuh.

Media sosial sama sekali tidak menggantikan sentuhan kasih sayang dan keterlibatan orangtuanya. Bila keadaan ini dibiarkan orangtua terus berlanjut; karakter anak dibangun dan dibentuk dari konten yang ia dapatkan dari media sosial, lama-kelamaan menjadi biasa dan anak lebih merasa aman, sehingga ia merasa media komunikasi adalah teman paling baik dan dekat dengan hidupnya, maka kehadiran orangtua atau orang lain dalam hidupnya dirasa seperti orang lain, bahkan dirasa asing baginya. Dengan demikian ia akan menjadi pribadi yang tidak memiliki rasa empati, tak peduli lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri. Hal ini akan terbawa sampai usia sekolah bahkan sampai dewasa bila tidak ada solusinya.

Ketika memasuki usia sekolah, anak ini akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan situasi di sekolah. Karena ia memasuki situasi baru yang bertentangan dengan kebiasaannya di rumah, ia tidak diperkenankan menggunakan media komunikasi selama berada di sekolah. Hal ini akan berdampak pada anak, ia tidak bisa bersosalisasi dan tidak bisa mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik, karena kebiasaan yang dilakukan terus-menerus dengan media komunikasi dihentikan untuk beberapa jam di sekolah.

Anak menghabiskan waktu dengan media komunikasi untuk bermain game dan lain-lain ketika di rumah, banyak hal yang ia korbankan, misalnya keterlibatan dalam hidup keluarga mulai berkurang, melawan orangtua, waktu untuk mengulangi pelajaran atau menyelesaikan tugas sekolah terabaikan, waktu istirahtnya berkurang, tenaga positifnya telah direnggut oleh media komunikasi, di sekolah ia akan mengantuk, dan lain sebagainya. Maka,   perilaku   yang   akan ditunjukkan, baik di rumah maupun di sekolah akan bermacam-macam. Bila orangtua dan guru tidak jeli dalam hal ini untuk memberikan solusi yang tepat sesuai akar permasalahannya, maka perkembangan anak dalam proses belajar mengajar tidak akan maksimal.

Catatan hitam dari orangtua dan sekolah terhadap anak akan berkelanjutan, seolah-olah anak ini tidak lagi ada kesempatan untuk berubah. Label ini mudah diberikan kepada anak karena ketidakmampuan manusia dalam mencari dan menemukan solusi dari masalah yang dialami anak sehingga terjadi saling mempersalahkan antara satu dengan yang lain. Maka, kolaborasi antara orangtua dan guru dalam pembentukan karakter sangat penting dan dibutuhkan. Karena masalah anak tidak ada di tempat lain, hanya ada di lingkungan keluarga sebagai cikal bakal pembentukan karakter dasar awal anak. Kemungkinan kecil terjadi di sekolah ketika guru kurang menjadi model, contoh, dan teladan bagi anak-anak, dan  pengaruh teman sebaya yang memiliki riwayat masalah dari keluarga.

Memang tidak semua anak demikian, tetaoi kehadiran dari satu atau dua anak yang bermasalah ini akan memengaruhi perilaku anak lain di sekolah dan lingkungan sekitarnya, seperti virus korona yang penyebarannya cepat dan dahsyat, sehingga lahirlah generasi milenial instan di masyarakat dengan jumlah yang semakin bertambah setiap harinya. Dengan demikian, peran masyarakat dalam memperkuat pembentukan karakter bagi generasi milenial tidak akan berhasil, justru munculnya kerakter-karakter baru yang tidak didapatkan di masa pendidikan. Karakter-karakter baru itu didapatkan dari media sosial dan lingkungan, di mana anak itu hidup dan bersosialisasi. Media sosial mendapat tempat yang nyaman di hati manusia, sehingga ketika media yang sering digunakan seperti hp, ketinggalan atau batereinya habis, ia akan terganggu, membuat hatinya gelisah dan kebingungan, tidak tenang (galau berat) yang berakibat pada gangguan psikologis.

Media sosial sudah menguasai semua kalangan, mulai dari anak usia dini, usia sekolah, maupun orang dewasa. Imbas dari era milenial memaksa banyak orang dewasa untuk mengikuti hidup ala milenial. Banyak orang tidak mendapatkan edukasi yang cukup tentang dampak dari media komuniasi bagi hidup manusia. Akibatnya banyak orang dewasa menjadi korban penipuan dan korban lainnya. Maka, orang dewasa saat ini ikut merasakan zaman milenial dan sudah terjebak dalam pengaruh media sosial yang mengubah perilaku dan gaya hidup menjadi gaya hidup ala milenial.

Jadilah guru, psikolog, dokter untuk diri sendiri atau belajar dari pengalaman orang lain dalam memanfaatkan media komunikasi secara bijak dan bertanggung jawab. Karena saat ini kedekatan manusia dengan media komunikasi boleh dikatakann bagian dari hidup manusia yang tidak terpisahkan. Sebagian besar waktu dan hidup manusia dihabiskan bersama dengan media sosial. Ketika media komunikasi sudah digenggamannya, orang tidak peduli lagi siapa yang berada di sampingnya, orang terdekat terasa jauh dan yang jauh lebih dekat, masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri. Hal ini dipandang sebagai hal yang biasa dan sering dilakukan termasuk orang dewasa.

Sadar atau tidak  media telah mengubah perilaku hidup menjadi pribadi yang tidak menghargai orang di dekatnya, tumbuhnya sikap ketidakkepedulian, memupuk sifat keegoisan pribadi, komunikasi tidak berjalan baik, dan sebagainya. Keterlibatan orang tua atau teman dekat yang dipercayai untuk berbagi hidup dan masalah pribadi, tidak lagi menjadi pilihan utama, melainkan media sosial menjadi tempat curhat. Melalui media sosial pula, orang bisa dengan bebas menyebarkan berita, baik itu berita benar dan bersifat mendidik maupun berita hoaks yang mengadung fitnah, ujaran kebencian, intoleransi, adu domba, dan sejenisnya yang pada akhirnya tidak sedikit orang yang menjadi korban dan berurusan dengan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa betapa dahsyatnya pengaruh media sosial terhadap perilaku manusia dan membuat manusia kehilangan akal sehat. Jadi, dampak media komunikasi bagi hidup manusia pasti ada sisi positif dan negatifnya, tergantung kejernian mata hati manusia dalam menilai dan melihatnya.

Karena itu, untuk membangun karakter anak di era digital ini, orang tua perlu mengembalikan hak anak yang seharusnya didapatkan dalam kehidupan keluarga. Sentulah hatinya dengan cinta dan kasih sayang yang tulus, berikan pemahaman yang utuh tentang siapa dirinya, siapa Tuhan dan ajaran agamanya, berikan edukasi yang cukup tentang apa fungsi, bahaya, dan dampak dari media komunikasi, berikan pemahaman yang utuh dengan aturan yang ketat dibarengi dengan kasih sayang, selalu berikan cara pandang positif kepada anak tentang masalah-masalah yang dihadapi dan beri alternatif dan saran yang bijak tanpa melukai hatinya. Jangan membiarkan anak melewati proses pertumbuhannya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Pada prinsipnya anak perlu mengalami dan merasakan dicintai dan disayangi oleh orangtuanya. Rasa dicintai itulah yang akan membentuk anak menjadi pribadi yang mencintai dan menyanyangi sesama, Tuhan, lingkungan, dan dirinya sendiri.

Demikian juga hal yang sama yang seharusnya ia dapatkan di bangku pendidikan. Sekolah perlu menjadikan jati dirinya sebagai rahim yang memberi arti manusia peserta didik sebagai embrio kehidupan yang patut dihargai, dicintai, dan disentuh hatinya dengan penuh kasih  sayang dalam proses pertumbuhannya dengan menciptakan situasi sekolah yang penuh kedamaian, kegembiraan, suka cita, dan menyenangkan, persaudaraan, dan keakraban antara warga sekolah, agar peserta didik bisa merasa aman dan tenang belajar, bermain, tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang matang, baik dari segi intelektualitasnya maupun dari segi kepribadiannya.

Maka, peran guru di sekolah adalah menghadirkan diri sebagai pribadi yang peduli, empati, yang dipenuhi dengan kasih yang tulus untuk membawa dan menghantar peserta didik pada tujuan pendidikan yang sejatinya. Cinta dan perhatian yang ia alami dan dapatkan akan lebih menarik dan lebih kuat pengaruhnya dari media komunikasi apapun yang diciptakan manusia. Jika hak anak dipenuhi, baik dalam kehidupan keluarga maupun di sekolah, tidak menutup kemungkinan kewajiban anak akan ia penuhi. Maka, di sinilah akan lahir generasi-generasi milenial yang tidak hanya cerdas dalam mengelolah media komunikasi untuk lebih bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, melainkan akan memiliki karakter yang kuat dan tangguh dalam menghadapi masalah kehidupan. Anak-anak inilah yang akan menjadi agen-agen perubahan masa depan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Fr. M. Faustinus Banusu, BHK

About fraterbhk

Check Also

Pendidikan Karakter bagi Generasi Milenial

Keberadaan dan peradaban manusia sejak semula tidak terpisah dari pembentukan karakter yang berdampak positif terhadap …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.