Pengantar
Tim Spiritualitas meminta saya untuk menulis sesuatu mengenai Bunda Hati Kudus sebagai pelindung tarekat. Beberapa tahun lalu saya sudah membuat terjemahan tulisan dari pater Bovenmaars MSC mengenai Bunda Hati Kudus yang ditinjau dari sudut teologi. Maka saya sangat mengharapkan bahwa buku tersebut menjadi salah satu pegangan hidup para frater Bunda Hati Kudus. Karena itu, maka dalam kesempatan ini saya hanya akan menulis secara singkat sejarah munculnya devosi kepada Bunda Hati Kudus (yang di kemudian hari – sesudah Konsili Vatikan II – menjadi spiritualitas Bunda Hati Kudus).
Gelar Bunda Hati Kudus
Itulah nama tarekat kita. Gelar ini berbeda dengan gelar-gelar lain yang pernah diberikan kepada Bunda Maria, seperti yang kita kenal dalam liturgi Gereja atau juga dari deretan gelar yang ada di dalam litani Santa Perawan Maria. Gelar ini tidak tertuju kepada salah satu hak istimewa Bunda Maria, bukan pula terhadap salah satu misteri kehidupannya. Devosi ini tidak berdasarkan pada pesan Maria sendiri, seperti di Lourdes atau di Fatima. Juga tidak pada suatu mukjizat seperti yang pernah terjadi di Roma, ketika ada lapisan salju di musim panas yang menunjukkan tempat bagi gereja Maria Maggiore.
Gelar Bunda Hati Kudus merupakan buah syukur dan cinta hangat seorang imam yang sangat mengasihi Hati Kudus Yesus tetapi yang juga ingin memuliakan Bunda Maria. Pada tahun 1854 Gereja Katolik sedang mempersiapkan diri untuk merayakan hari di mana Paus Pius IX akan mengumumkan dogma Maria dikandung tanpa noda. Tepatnya pada tanggal 8 Desember 1854. Dari seluruh penjuru bumi para uskup dan ribuan peziarah berduyun-duyun datang ke kota Roma untuk menghadiri peristiwa ini.
Pada waktu itu juga ada dua imam muda yang membuat rencana untuk meningkatkan hidup umat suatu paroki agar lebih bersemangat. Di Perancis terletaklah kota Issoudun, suatu kota kecil, di sinilah seorang imam muda bernama Maugenest berkarya dengan sangat rajin, tetapi merasa prihatin melihat bagaimana umat di paroki itu begitu malas dalam membangun hidup rohaninya. Tangan Tuhan membimbing uskup sehingga di situ juga ditempatkan seorang imam muda lainnya yang bernama Jules Chevalier. Mereka berdua memang sudah menjadi akrab sejak di seminari. Pada waktu itulah kedua imam muda ini berjanji akan membuat paroki ini bersemangat dalam penghayatan kehidupan rohani dengan mendirikan suatu serikat misionaris imam yang baru, yang akan menyebarkan devosi kepada Hati Kudus Yesus sebagai sarana kerja mereka.
Sadar akan ketidak mampuan untuk mengusahakan berdirinya serikat baru tersebut, mereka memohonkan rahmat Tuhan. Kedua imam muda tersebut mengadakan novena kepada Bunda Maria menjelang tanggal 8 Desember 1854 untuk memperoleh anugerah, yakni terselenggaranya tarekat tersebut. Mereka pun berjanji akan menghormati Bunda Maria secara khusus apabila doa mereka dikabulkan. Mereka berharap dengan perantaraan Bunda Maria mereka memperoleh modal agar dapat memulai pekerjaan tersebut.
Pada hari terakhir novena itu, seorang tamu mendatangi mereka. Ia berkata: “Romo, saya membawa kabar baik bagi romo. Seseorang yang tidak mau disebut namanya menyumbang 20.000 Franc untuk suatu pekerjaan yang baik di Issoudun.” Imam itu bertanya, pekerjaan apa yang dimaksudkan. Sahutnya: “Terserah romo, tetapi alangkah baiknya bila didirikan sebuah rumah untuk para misionaris.”
Bagi kedua imam muda tersebut, peristiwa ini merupakan jawaban dari surga. Mereka membeli sebuah rumah yang kemudian diperbaiki untuk maksud mereka. Sejak saat itulah Misionaris Hati Kudus berdiri. Demikianlah dimulainya tarekat MSC, seperti yang juga berkarya di Indonesia. Dan demikian pula separuh dari novena mereka terwujud.
Pater Chevalier berdoa dan berpikir bagaimana cara melunasi janjinya tersebut. Kedua imam tersebut kemudian mengajak umat untuk menghormati Maria dan merayakan pesta-pesta Maria dengan meriah. Namun mereka merasa ini belum cukup. Baru setelah karya mereka direstui Uskup Agung mereka, pater Chevalier berlutut di depan patung Bunda Maria untuk mengucap syukur. Pada waktu itulah ia mendapat inspirasi bahwa Maria bukan saja Bunda kita, melainkan juga mempunyai pengaruh keibuan terhadap Puteranya.
Pater Chevalier mempelajari semua hal yang berhubungan dengan kaitan antara Maria dengan Yesus dalam Alkitab dan ajaran Gereja. Maka akhirnya ia memilih sebutan Dominae Nostrae a Sacro Corde, yang di kemudian hari diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai Bunda Hati Kudus. Isi dan arti gelar tersebut tidaklah baru, hanya penggunaan nama itulah yang baru.
Sementara itu Tarekat MSC membangun kapel baru dan pater Chevalier bertanya kepada komunitas: “Dengan gelar manakah akan kita hormati Maria dalam kapel baru ini?” Usulan-uslan tidak berkenan di hatinya. Maka ia berkata: “Altar Maria akan dipersembahkan kepada Bunda Hati Kudus.” Semua menjadi heran karena sebutan baru tersebut. Pendiri tarekat berkata bahwa ia sudah berjanji untuk menghormati Bunda Haria secara khusus dan ia menguraikan lebih lanjut janjinya dan bagaimana kebaktian ini memenuhi keinginannya karena:
- Ucapan syukur kepada Allah yang telah memilih Maria sebagai Bunda Yesus;
- Mengakui kuasa ibu terhadap Anaknya;
- Memohon kepada Maria untuk menghantar kita kepada Hati Kudus Yesus, Sumber segala rahmat;
- Menyatakan bahwa kita memperoleh segala karunia melalui Bunda Maria;
- Memuliakan Hati Kudus Yesus bersama dengan Bunda Maria.
Tarekat MSC sangat setuju dan sejak saat itu mereka mulai menyebarkan devosi ini ke mana-mana. Ke tempat-tempat yang mereka kunjungi. Pater Chevalier mengedarkan gambar-gambar sehingga dalam waktu singkat banyak umat mulai menghormati Bunda Hati Kudus.
Devosi ini juga tersebar ke Negeri Belanda. Pada tahun 1873 Uskup Agung Utrecht A.I.Schaepman memikirkan nama dan pelindung untuk tarekat frater yang ia dirikan. Atas saran pimpinan umum tarekat CMM, dipilihlah nama Bunda Hati Kudus
Sekarang bagi kita masih berlaku seperti yang dikatakan oleh promotor kebaktian baru ini: per Mariam ad Jesum, kita akan sampai kepada Hati Kudus Yesus bersama dengan Maria. Kita mengharapkan dengan perantaraan Bunda Haria, kita akan memperoleh kedewasaan hidup kristiani serta kematangan hidup religius bagi kita semua.
Fr. M. Frans Hardjosetiko, BHK