Home / Sharing Gagasan / TikTok dan Hidup Membiara

TikTok dan Hidup Membiara

Hari-hari ini, banyak religius, baik Romo, Frater, Bruder, maupun Suster, bermain TikTok. Kepada para tiktokers berjubah ini banyak tanggapan yang diberikan. Ada yang memberi apresiasi lantaran tontonan yang diperlihatkan menghibur, memberi inspirasi, atau membagi pengetahuan. Namun, tidak sedikit yang melayangkan kritik miring nan pedas. Para kritikus dunia maya ini mempertanyakan makna teologis dari permainan yang banyak digandrungi generasi milenial itu. Juga soal jubah yang dikenakan, tanda salib yang semestinya dilakukan saat berdoa, dan tempat bermain TikTok di ruang privat.

Pater Agateus Ngala SVD, yang kini bertugas di Jerman, mengomentari gejala ini. Dalam tulisannya yang diunggah di https://gkatolik.com, misionaris asal Manggarai Timur, NTT ini menulis demikian: “Ada gejala umum di kalangan kaum berjubah untuk ‘narsis’ dan eksis di depan kamera. Proyek TikTok masuk sampai ke ruang klausura, ruang privat dan mengangkat tema yang dangkal sampai dicap kurang kerjaan. Aksi-aksi harian ‘dimodifikasi’ sebagai aksi panggilan, padahal gambar dan video yang dipublikasi begitu rendah kualitas, minus profesionalitas (dunia media), dan akhirnya pesan yang tiba di mata penonton minim makna dan sangat tampak ego idolatry-nya.”  Saya, salah seorang religius yang memiliki akun TikTok dan juga terlibat di dalamnya sependapat. Namun demikian, saya memiliki dasar argumen, mengapa saya memilih menjadi tiktoker. Beberapa poin saya uraikan berikut ini.

Pertama, setelah saya pelajari dunia TikTok dan melebur di dalamnya, saya berpikir ada hal positif di sana. TikTok itu media, tempat saya bisa merasul. Eittss, sebentar…. Saya tidak berbicara, merasul di sini soal hal-hal hebat seperti yang dilakukan mereka yang punya kompetensi, para Romo, misalnya. Cukuplah hal sederhana, misalnya, lip sync lagu-lagu rohani, membuat permainan TikTok yang lucu-lucu, lalu orang-orang terhibur karenanya. Bukankah itu hal positif? Saya menebarkan kebaikan, hiburan, dan kegembiraan. Sangat sederhana memang, tetapi melalui aplikasi yang telah diunduh lebih dari 1,5 miliar kali selama tiga tahun terakhir itu, saya memberi kesaksian kepada dunia, terutama pengguna TikTok, bahwa hidup ini menyenangkan.

Kedua, TikTok juga menjadi sarana pewartaan. Seorang Pastor muda, rajin sekali dia memosting pokok-pokok Ajaran Iman Katolik, antara lain tentang sifat-sifat Gereja, tentang Sakramen, tujuh dosa pokok, perbuatan-perbuatan cinta kasih, Buah-buah Roh, keutamaan Kristiani, dan masih banyak lagi katekese singkat yang di-lakukannya. Followers-nya puluhan ribu. Bayangkan, berapa “paroki” yang sudah dia kasih pelajaran agama dalam sekali posting? Ini tidak menentang ajaran Kitab Suci, KHK, Konstitusi, atau apa pun itu “undang-undang” Gereja Katolik dan hidup membiara, sebagaimana yang dipersoalkan seorang kritikus dunia maya. Malah sebaliknya, tindakannya justru sangat mendukung pilihan hidupnya sebagai seorang Imam Gereja Katolik.

Ketiga, banyak informasi yang saya dapat dari TikTok. Saya jadi tahu, ternyata kopi sebaiknya diminum di antara jam 11 dan 1 siang, karena di jam-jam itu, energi terfokus di jantung dan jantung suka dengan rasa pahit; saya jadi tahu cara praktis membantu menaikkan imun tubuh dengan hanya menekan beberapa bagian tubuh; saya jadi tahu makanan khas orang Kalimantan dan hal-hal unik di sana dalam waktu kurang dari satu menit; dan masih banyak lagi.

Keempat, TikTok itu hiburan paling murah. Banyak tiktokers, terutama dari China, India, atau Eropa yang sangat kreatif menciptakan lelucon bermutu, yang bisa melenturkan otot tegang karena beban hidup dan pekerjaan, apalagi dalam situasi mumet akibat pandemi seperti sekarang ini. Setidaknya itu menurut pengalaman saya. Masih banyak hal positif lainnya dari aplikasi buatan Negeri China ini. Sebagai catatan tambahan, menjadi orang biara tidak harus mendekam di depan tabernakel terus. Semua sudah ada porsi waktunya. Ada saatnya berdoa, ada saatnya bekerja dan merasul, ada saatnya rekreasi. Nah, TikTok memberi peluang, rekreasi dan merasul sekali jalan. Tentu, pertanyaannya adalah apa pilihan “aliran” TikTok yang dimainkan. Ini penting menjadi pertimbangan kaum berjubah yang gandrung pada dunianya milenial ini. Selain itu, sakralitas tempat kudus, seperti Gereja atau Kapel, harus tetap dijaga dan ruang-ruang privat bukan pilihan yang bijak untuk bermain TikTok.

Fr. M. Walterus Raja Oja, BHK

About fraterbhk

Check Also

Pendidikan Karakter bagi Generasi Milenial

Keberadaan dan peradaban manusia sejak semula tidak terpisah dari pembentukan karakter yang berdampak positif terhadap …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.