Pengantar
Saat meninggalkan abad XX menuju abad XI, ada kegalauan besar yang menerpa lembaga-lembaga pendidikan katolik di Indonesia. Setidaknya inilah yang juga dirasakan oleh para Bapa gereja yang akhirnya tertuang dalam Nota Pastoral 2008. Nota Pastoral tersebut memuat beberapa pokok berkaitan dengan LPK yang meliputi berbagai permasalahan yang menyangkut kemerosotan kualitas pendidikan, kehilangan karakter, kehilangan kemandirian serta tanggung jawab social. Dari sisi SDM, kualitas pendidik dinilai mengalami penurunan.Sejumlah lembaga mengalami kesulitan keuangan, diterpa sejumlah kelemahan seperti dalam tata kelola, tidak professional, pro kemapanan, lemah jejaring, kehilangan semangat korps, menurunnya jumlah peserta didik serta kehilangan nilai-nilai katolisitas.
Lembaga-lembaga pendidikan katolik dinilai mulai meninggalkan identitas/ciri khasnya, bukan sekedar ciri lahiriah, tetapi juga suasana batiniah yang selama ini menjadi bagian dari kebanggaan.Dari segi kualitas, lembaga-lembaga tersebut dinilai kehilangan tidak sekedar kualitas akademik, tetapi juga kualitas output dan outcome seutuhnya. Sejumlah lembaga harus berjuang melawan maut ketika tidak mampu lagi bertahan dengan jumlah peserta didik yang semakin habis yang berimplikasi langsung pada kekurangan dana.
Kelemahan pengelolaan, disertai dengan buaian nama besar lembaga pada masa lampau sungguh sering menjadi benteng tebal untuk pintu perubahan. Kepemimpinan yang cenderung karismatis dengan mengabaikan profesionalisme serta kecenderungan untuk mempertahankan kemapanan, serta kepercayaan diri semu mendorong lembaga melemahkan peran jejaring. Pada gilirannya bila kesadaran datang terlambat semuanya menjadi terperangah. Menurunnya jumlah peserta didik secara drastis dan kehilangan kemandirian menjadi salah satu indicator bagi kemunduran lembaga secara menyeluruh. Dan bila nilai-nilai katolisitas tidak lagi mengkristal dan mengejawantah dalam diri pelaku-pelaku pendidikan serta para peserta didik, maka lengkaplah kegalauan insan pendidikan katolik.
Bila para insan pendidikan katolik cepat terjaga, maka langkah-langkah cerdas harus segera diambil. Kesadaran akan keadaan konkret yang memilukan mendorong mengupayakan suatu keunggulan-keunggulan lembaga katolikyang mungkin selama ini tenggelam pelan-pelan tanpa disadari. Keunggulan tersebut mengarah pada suatu pembinaan pribadi manusia yang utuh baik bagi peserta didik maupun pendidik. Kecuali itu harus dibangun etos kerja baru yang tinggi, mengedepankan multikulturalisme serta membangun loyalitas iman dengan ciri semangat kebebasan dan semangat injil.
Lembaga pendidikan katolik harus mau berubah (atau mati!). Perubahan yang diharapkan meliputi tiga pilar besar yang akan mampu mengembalikan kejayaan lembaga pendidikan katolik tersebut. Ketiga pilar itu meliputi: Setia pada PENCERDASAN KEHIDUPAN BANGSA, setia terhadap CIRI KHAS KATOLIK, dan setia pada SEMANGAT LUHUR (SPIRITUALITAS) pendiri.Sejak awal diyakini sepenuhnya bahwa LPK memiliki misi mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Ciri “ mencerdaskan” ini sekarang telah dibelokkan dan diberi muatan-muatan politis. Ciri khas Katolik lama-lama pudar karena dominasi kekuasaan Negara pada lembaga-lembaga katolik makin kuat.Nilai mendasar dan merupakan inti dari karakterkhas LPK adalah Spiritualitas Pendiri.
Apa Spiritualitas Khas Tarekat BHK?
Meski telah berumur lebih dari 100 tahun, tarekat Frater Bunda Hati Kudus masih terus menggali dan menggali kekhasan spiritualitasnya.Benarlah kiranya bahwa kelahiran tarekat ini semula mendapat pengaruh dari beberapa tarekat/ordo religius sehingga dipengaruhi pula oleh spiritualitasnya. Namun melalui pembelajaran panjang, permenungan, studi dan seminar-seminar, serta penelitian atas naskah-naskah para pendahulu, akhirnya ditemukanlah suatu benang merah antara spiritualitas tarekat frater Bunda Hati Kudus dengan spiritualitas yang dibawa oleh Pater Julis Chevalier, pendiri tarekat Misionaris Hati Kudus (MSC). Dengan demikian spiritualitas tarekat Bunda hati Kudus memiliki sumber yang sama dengan spiritualitas pater-pater MSC, yakni Hati Kudus Yesus. Bisa dikatakan atau disimpulkan, spiritualitas tarekat Frater Bunda Hati Kudus adalah Spiritualitas Hati Kudus atau disebut Spiritualitas Hati.
Bersama dengan pater-pater dan bruder MSC, suster-suster PBHK, para suster TMM, serta sejumlah kaum awam yang komit pada perjuangan Spiritualitas Hati, para frater BHK menjadi sebuah keluarga, keluarga Chevalier (pendiri tarekat Misionaris Hati Kudus). Di Indonesia keluarga Chevalier ini diwadahi sebuah rumah indah: Ametur Indonesia.Ametur Indonesia yang disimbolkan dengan gambar perahu dengan lima orang penumpang menggambarkan perjuangan bersama keluarga Chevalier Indonesia mengarungi samudera pelayanan berlandaskan Spiritualitas Hati. Setiap anggota keluarga Chevalier memiliki tugas sama:diutusuntukmenyebarluaskan Spiritualitas Hati sebagai suatu jalan hidupyang memberdayakan orang lainuntuk makin mencintai dengan hati manusiawi.
Begitu luhurnya sebuah Spiritualitas, maka perlu upaya serius untuk merumuskan dan menuangkannya dalam bentuk literasi, agar dapat dipelajari oleh siapapun, didalami, dihidupi, dikembangkan serta diwariskan sebagai warisan berharga bagi generasi-generasi mendatang.Kecuali diwariskan sebagai suatu pedoman kehidupan, tentu yang lebih utama adalah diupayakan terus-menerus untuk dapat diwujudkan dalam karya nyata.Itulah sebabnya tarekat Frater Bunda Hati Kudus telah membentuk Tim Spiritualitas untuk secara khusus mempelajari, mendalami, merumuskan serta mensosialisasikan Spiritualitas Hati dalam kehidupan.
Spiritualitas Hati
‘Spiritualitas’ berarti ‘cara hidup menurut Roh Kudus’. Spiritualitas juga berarti menghayati Injil dalam situasi konkret. Dan karena Injil berisi kekayaan yang sangat melimpah, setiap kelompok religius dapat mengambil satu kekayaan dan menjadikannya sebagai kekhasan perjuangannya. Spiritualitas kristiani menjadikan orang sadar mengenai karunia-karunia Roh dalam diri manusia. Karunia-karunia Roh yang memperkayahati setiap manusia.“Buah Roh ialah:kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri”(Gal 5: 22-23).
Roh Kudus memberi manusia kemampuan untuk mencintai kendati perasaan cinta sudah kering; untuk mengampuni walaupun dilanda rasa sakit hati,dan tetap melayani walaupun dikuasai rasa bosan. Jadi Spiritualitas bisa berarti menghanyutkan diri pada gerakan Roh Kudus, hidup menurut semangat Injil dan mengabdi pada sesama berdasarkan dorongan tersebut. Hidup menurut spiritualitas tidak terutama ditentukan oleh keadaan hati seseorang, tetapi benar-benar berdasarkan dorongan Roh Kudus. Manusia mungkin miskin cinta, tetapi bersama Roh Kudus ia mampu mencintai sesama dengan lebih mendalam.
Pater Chevalier yakin, bahwa “hati kita adalah seluruh diri kita.”“Hati kita menentukan siapa kita.Hati kita menentukan entah pikiran, perbuatan atau maksud kita adalah baik atau jahat.”Dari sinilah spiritualitas Bunda Hati Kudus bermula. Sumbernya tidak lain adalah hati Kudus Yesus sendiri Yang Mahakasih. Yesus mengasihi manusia sepenuhnya bersumber dari hati-Nya yang Mahakudus.Hati Kudus Yesus adalah seluruh hidup-Nya. Dengan hati-Nya pula Ia mencintai manusia secara nyata. Manusia yang pertama mampu membaca dan memahami aliran kasih yang bersumber dari Hati Kudus Yesus adalah Bunda Maria, Hawa Baru! Dialah yang mampu memberikan jembatan penghubung antara manusia yang rentan dosa dengan kesucian Hati Yesus yang sempurna.Maria pun menghayati hidupnya dengan berlandaskan pada kasih yang bersumber pada Hati Puteranya.
Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Hati bukanlah sumber perasaan sentimental, melainkan sumber kemampuan untuk membuka diri bagi sesama dan memahami orang lain. Kualitas diri anda ditentukan oleh kualitas hati anda.”Spiritualitas hati adalah gerakan konkret terhadap sesama, terutama yang membutuhkan sentuhan hati. Spiritualitas Hati tidak bergerak ke dalam, demi ketenangan dan kebahagiaan batin diri sendiri melainkan bergerak ke luar, demi ketenangan dan kebahagiaan batin orang lain. Semuanya bersumber dari Hati Kudus Yesus, bersumber dari Injil-Nya.
Spiritualitas Hati dan Devosi Hati Kudus
Spiritualitas Hati bukanlah Devosi Hati Kudus, tetapi diawali dan bersumber pada devosi tersebut. Devosi Hati Kudus melahirkan hati yang terbuka, berani berserah dan belajar pada kelembutan Hati Yesus yang kudus.Di atas kayu salib lambung Yesus dilukai dengan tombak, dan dari sanalah mengalir darah dan air sebagai symbol aliran kasih Yesus sendiri kepada semua manusia tanpa dibatasi oleh berbagai sekat kehidupan yang dibuat oleh manusia.
Pater Chevalier sebagai pelopor Spiritualitas hati berbicara mengenai Devosi kepada Hati Kudusdalam arti luas yang terutama sekali berkaitan dengan praktek doa demi penghormatan kepada Hati Kudus Yesus dan demi kebutuhan pribadi yakni rasa damai, tenang dalam hati.Devosi kepada Hati Kudus Yesus dapat dilakukan sendiri atau dalam sebuah komunitas. Menurut Pater Chevalier keterbatasan dari devosi adalah: masalah hati kurang diperhatikan , tetapi dipendamkan dan karunia-karunia Roh dalam hati kurang dikembangan.
Jika kita berbicara mengenai Spiritualitas Hati maka di dalamnya sekaligus mencakup Devosi kepada Hati Kudus, sebagai dasar perutusan, bercermin pada pengalaman dan cita-cita Hati Yesus, dan digerakkan oleh rasa prihatin terhadap derita masyarakat atau sesama.Spiritualitas hati harus dijalankan bersama sebanyak mungkin orang, sehingga mampu pula menyapa dan memberdayakan semakin banyak manusia pula.
Yesus, Model Spiritualitas Hati
Spiritualitas Hati berangkat dari devosi kepada Hati Kudus Yesus, karena itu model spiritualitas hati adalah Yesus sendiri. Di dalam Injil kita temukan bahwa selama 30 tahun Yesus hidup di tengah masyarakat Palestina,untuk belajar “mencintai dengan hati manusiawi” di bawah bimbingan Roh Kudus.Yesus, sebagai manusia mengalami kehidupan nyata yang penuh dengan gejolak dan permasalahan.Yesus selalu berhadapan dengan masalah-masalah manusia yang menggoreskan luka di hati. Dari sanalah pelan-pelan hati Yesus terasa semakin peka untuk mengasihi hati-hati lain. Yesus dibesarkan dengan penuh kasih oleh keluarga yang penuh cinta kasih.Melalui pengalaman sehari-hariYesus belajar mencintai dengan hati manusiawi,lewat ibunya Maria, ayahnya Yosef, saudara- saudaranya, serta masyarakat sekitar-Nya.
Melalui sosialisasi dan hidup bersama dengan masyarakat yang tertekan, terpenjara dan menderita, Yesus belajar merasakan danmemperdulikan nasib dan derita orang lain.Tetapi Yesus bukan hanya belajar mencintai sambil turut merasa derita manusia.Lebih dari itu, sebelum tampil di depan umum Yesus mengadakan ‘observasi’tentang hidup sesama manusia di tengah-tengah masyarakat zamannya. Yesus juga belajar bagaimana memahami kehendak Allah lewat Kitab Suci, belajar bersosialisasi dengan kaum agamawan dan negarawan. Dari sana Ia belajar bagaimana mengharmonisasikan kehidupan manusia dari berbagai aspek kehidupan. Dari sanaYesus menemukan suatu keseimbangan kehidupan manusia antara yang jasmani dan rohani. Relasi antara manusia dengan sesamanya dan dengan Allah dipelajari Yesus dari perjumpaan dan pengalaman keseharian-Nya. Yesus mampu menyimpulkan dan akhirnya mengajarkan bahwa relasi dengan Allah dan sesama manusia ditentukan ‘oleh praktek yang timbul dari hati’ di mana manusia dibimbing oleh Roh Kudus,bukan ‘oleh praktek-praktek lahiriah’ dan ritus-ritus saja. Kehidupan yang utuh yang dialami dengan tulus dan dijiwai oleh Roh akan melahirkan pemahaman demikian.
Spiritualitas Hati Masa Kini
Spiritualitas Hati lahir dan berawal dari kehidupan konkret yang “bermasalah” karena kebobrokan berbagai segi kehidupan pada masa tertentu.Kebrobrokan tersebut mengundang hati orang yang peduli yaitu Pater Jonas Chevalier.Meskipun berangkat dari kehidupan konkret yang tampaknya gampang disembuhkan dengan pertolongan darurat, namun Pater chevalier tidak serta merta melakukan itu.Spiritualitas hati dimulai dengan pemahaman dan penghayatan mendalam atas Hati Yesus Yang Kudus melalui sebuah devosi.Dari sanalah akhirnya mengalir gerakan konkret yang lebih menekankan pada pemberdayaan masyarakat yang “bermasalah” tadi. Jadi, spiritualitas hati bukanlah merupakan semacam ‘pintu darurat keluar’ dalam mengatasi persoalan hidup sehari-hari yang sering kacau balau. Spiritualitas Hati membuat orang sanggupuntuk menghadapi tantangan-tantangan hidup secara berani dan terbuka. Spiritualitas hati ke dalam membuat seseorang menjadi hidup oleh Roh Allah, dan ke luarmembuat seseorang berani menghadapi tantangan hidup secara berani, sekaligus mampu mendorong orang lain juga menjadi berani menghadapi persoalan hidup dijiwai oleh Roh Kudus.
Spiritualitas Hati berdampak positif terhadap hidup bersama di lingkup keluarga / komunitas:menciptakan persaudaraan yang terbukademi pergaulan dengan siapa sajadan dalam pelaksanaan tugas sehari-haridemi kepentingan bersama. Spiritualitas Hati menjembatani jurang-jurang pemisahantara kelompok-kelompok seumat, golongan-golongan yang berbeda agama,kelas-kelas sosial di dalam masyarakat.Spiritualitas hati menjadi pelopor terwujudnya sebuah persaudaraan sejati, yang di dalamnya martabat manusia dijunjung tinggi dan perbedaan dihayati sebagai suatu kekayaan.Spiritualitas hati menghayati pluralisme sebagai sebuah potret kehidupan nyata yang wajar, manusiawi dan bersahabat. Akhirnya Spiritualitas Hati yang dihayati, disebarluaskan dan dihidupi dengan tulus akan menjadi “roh penggerak” bagi dunia yang ingin memperbaharui diri dengan landasan Kasih.
Menghidupi Spiritualitas Hati dalam Dunia Pendidikan
Pater Chevalier merasa prihatin terhadap kebobrokan masyarakat di Prancis. Perjuangan mengatasi kebobrokan tersebut dimulai dengan membangun roh penggeraknya, yaitu hidup spiritual.Maka perjuangan dimulai dengan menggerakkan umat untuk berdevosi, khususnya Devosi kepada Hati Kudus Yesus.Maksud Pater Chevalier ialah agar melalui Devosi kepada Hati Kudushati manusia diperbaharui, dan cara hidup serta karya sebanyak mungkin orangmenjadi obat penyakit-penyakit masyarakat zamannya. Supaya Spritualitas Hati disebarkan dimana-mana, di segala sudut masyarakatdibutuhkan keterlibatan sebanyak mungkin orang,termasuk imam-imam projo dan kaum awamyang mempraktekkan Spiritualitas Hati dalam kalangan umat, lingkungan keluarga, lingkup kerja, dan di tengah-tengah masyarakat.
Dalam menggali sumber Spiritualitas Hati, Pater Chevalier kembali ke Injil-injil.Dari dalam perikop-perikop Injil direnungkanlahapa yang dialami oleh Yesus dalam hati-Nya, dan bagaimana hati-Nya tergerak untuk mengulurkan tangan kepada mereka yang susah,dengan tidak menyayangi nyawa-Nya sendiri. Inilah mata air yang harus ditimba oleh orang-orang yang hendak mengamalkan Spiritualitas Hati.
Dunia pendidikan memiliki peran strategis dalam menentukan masa depan suatu bangsa. Desain pendidikan yang salah berimplikasi pada kerusakan suatu generasi, bahkan kerusakan turun-temurun. Sesungguhnya sistem pendidikan manapun memerlukan roh penggerak, yangakan mendasari setiap program dan implementasinya. Dan jika spiritualitas hati dijadikan sebagai roh penggerak sistem pendidikan, sesungguhnya kita tengah memulai sebuah megainvestasi sumber daya manusia bagi generasi-generasi berkualitas di masa mendatang. Inilah idealisme dari dimasukkannya spiritualitas hati dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan katolik.
Inspirasi Pater Chevalier sangat relevan dengan situasi bangsa Indonesia saat ini. Perkembangan dunia yang begitu dahsyat dalam bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta arus globalisasi yang tak terbendung, kini telah mampu menggoyahkan sendi-sendi peradapan, tata krama dan nilai-nilai adat budaya, serta menggerogoti nilai-nilai kehidupan. Dan pendidikan, sering dituding sebagai sosok paling bertanggung jawab atas suatu perubahan negatif suatu bangsa, oleh sebab itu melalui pendidikanlah kondisi tersebut dapat diubah dan dibangun kembali menjadi lebih baik lagi.Kesadaran akan pudarnya nilai-nilai karakter bangsa yang dirasakan oleh sejumlah orang yang peduli dengan nasib bangsa, meski datangnya sedikit terlambat sesungguhnya sejalan dengan keprihatinan Pater Chevalier pada jamannya, oleh sebab itu apa yang dahulu dilakukan oleh Pater Chevalier pada masa itu dapat menjadi inspirasi dan daya pendorong bagi para pejuang Spiritualitas Hati masa kini.
Pendidikan Kemardiwiyataan
Pendidikan Kemardiwiyataan adalah amanat tarekat Frater Bunda hati Kudus melalui salah satu wahana karyanya, Yayasan Mardi Wiyata. Yayasan pendidikan yang mengelola sejumlah lembaga pendidikan (sekolah), seiring dengan perubahan dahsyat dunia pendidikan di Indonesia dipaksa untuk menemukan kembali roh penggerak (spiritualitas) yang dihembuskan para pendiri tarekat ini. Melalui berbagai upaya konkret saat pergantian abad beberapa waktu silam, yayasan Mardi Wiyata sesungguhnya tengah merancang aksi konkret menanggapi berbagai perubahan.
Melalui beberapa pertemuan evaluasi terpadu tingkat nasional serta kegiatan-kegiatan kebersamaan antara insan pendidikan Mardi Wiyata, semakin konkretlah instrument yang dibutuhkan dalam rangka menemukan dan membangkitkan kembali kejayaan pelayanan pendidikan di kalangan tarekat frater bunda Hati Kudus.Instrumen tersebut bernama Pendidikan Kemardiwiyataan. Meski diberi nama Pendidikan kemardiwiyataan, sesungguhnya secara lebih luas sebenarnya yang hendak ditanamkan adalah Pendidikan Ke-BHK-an. Oleh sebab itu, meski ketika dilahirkan Pendidikan Kemardiwiyataan itu tampak sederhana dan penuh dengan kelemahan manusiawi, sesungguhnya ia memiliki peran yang sangat mendasar bagi masa depan tarekat frater Bunda Hati Kudus.
Pendidikan Kemardiwiyataan, sebagaimana terumus dalam kurikulum yang telah disusun, bertujuan membentuk insan Mardi Wiyata yang integral (Kitab Hukum Kanonik, kan. 795), yakni subjek didik yang memiliki sikap: religius, budi luhur, adil, demokratis, toleran, mandiri, tanggung jawab, disiplin, solider, loyal, tangguh, cerdas, terampil, dinamis dan optimis (Gravisimum Educationis, art. 1, 2). Melalui pemahaman atas Kongregasi Frater Bunda hati Kudus dan karya-karyanya, pemahaman Yayasan Mardi Wiyata dan kiprahnya, serta pendalaman kehidupan para santo-santa pelindung, pendidikan Kemardiwiyataan diharapkan menghasilkan insan Mardi Wiyata militan, yang memiliki karakter kuat sebagai ciri khas output dan outcome sekolah-sekolah Mardi Wiyata.Kecuali itu secara tidak langsung perjuangan para frater Bunda Hati Kudus dikenalkan semakin luas kepada dunia melalui orang-orang muda yang mengenyam pendidikan pada sekolah-sekolah mardi Wiyata. Di sini, promosi panggilan sesungguhnya berlangsung terus-menerus sepanjang waktu bagi generasi muda.
Mengacu pada beban berat yang diemban Pendidikan Kemardiwiyatan sebagai salah satu wadah perjuangan Spiritualitas Hati, disusunlah materi ajar bagi para pendidik dan peserta didiksebagai salah satu pedoman kegiatan pembelajaran.Materi pokok tersebut meliputi empat pemahaman yaitu: Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, Karya frater BHK, Yayasan Mardi Wiyata, dan Orang-orang Kudus. Tarekat/kongregasi Frater Bunda Hati Kudus mendapatkan porsi besar mengingat dari sanalah sumber nilai-nilai karakter yang hendak ditanamkan itu berasal.Yayasan mardi Wiyatabeserta sekolah-sekolah yang dikelolanya dipahami sebagai karya nyata para frater di samping sejumlah karya lainnya. Ditampilkannya sejumlah orang kudus pelindung komunitas dan sekolah-sekolah mardi Wiyata dimaksudkan sebagai upaya menggali nilai-nilai spiritualitas hati yang diteladankan oleh para kudus. Tentu saja, semuanya harus bersumber pada Injil.
Implementasi Spiritualitas Hati dan Pendidikan Kemardiwiyataan
Pendidikan Kemardiwiyataan tidak boleh berhenti dan terjebak pada ranah kognitif yang hanya berimplikasi langsung pada nilai-nilai akademik.Pendidikan Kemardiwiyataan justru lebih mementingkan perubahan perilaku, dan tidak mementingkan angka-angka.Oleh karena itu iklim dan suasana batin yang tercipta dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari sebuah komunitas menjadi tolok ukur hasil Pendidikan Kemardiwiyataan.Spiritualitas Hati yang menjadi inti Pendidikan Kemardiwiyataan tidak bisa diukur dengan instrumen-instrumen yang kenyataannya sering hanya mencerminkan kerja otak.“Hasil” dari Pendidikan Kemardiwiyataan yang dijiwai Spiritualitas Hati hanya bisa dinilai dengan hati pula.Yang bisa menilai dan merasakan“hasil” Spiritualitas Hati dan Pendidikan Kemardiwiyataan adalah seluruh warga komunitas/sekolah, para pemangku kepentingan sekolah, dan akhirnya seluruh warga masyarakat.
Perjuangan membumikan Spiritualitas Hati bukan hanya menjadi tanggung jawab guru Pendidikan Kemardiwiyataan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh warga komunitas/sekolah. Perjuangan ini harus dimulai dengan pemahaman Visi dan Misi yang telah disusun, dimulai oleh pimpinan komunitas/sekolah bersama staf, tenaga pendidik dan kependidikan, seluruh peserta didik dan para orangtua. Pemahaman Visi dan Misi ditindaklanjuti dengan pembumian Spiritualitas Hati dalam bentuk-bentuk perilaku konkret dan sederhana. Perilaku konkret yang lahir dari penghayatan akan spiritualitas hati itu harus dikondisikan dalam berbagai upaya: keteladanan, pembiasaan, dan komunikasi sehari-hari yang wajar.
Keteladanan harus dimulai dari para pendidik dan tenaga kependidikan, karena merekalah ujung tombak perjuangan ini.Pada jaman ini keteladanan jauh lebih efektif ketimbang nasihat, apalagi perintah dan pemaksaan kehendak.Namun demikian, dalam lingkup sekolah keteladanan harus dilengkapi dengan berbagai pembiasaan.Pembiasaan adalah sebuah upaya untuk menanamkan suatu nilai menjadi milik diri sendiri melalui pengulangan-pengulangan. Peraturan dan tata tertib sesungguhnya termasuk upaya pembiasaan warga komunitas akan nilai-nilai. Komunikasi antar warga komunitas yang terbangun dengan sehat dan wajar akan mendukung internalisasi nilai-nilai karakter, terutama pembumian Spiritualitas Hati dalam ranah kehidupan nyata. Semuanya dimulai dari hati, diproses di dalam hati, diwujudkan dalam kehidupan dan pergaulan, dan akhirnya bermuara kembali pada hati.Hatilah yang bisa memahami dan merasakan suasana damai sejahtera dan bahagia sebagai buah dari Spiritualitas Hati.
Kesimpulan dan Harapan
Pertama, Sekolah Katolik semakin diperhatikan di dalam Gereja sejak Konsili Vatikan II, khususnya Gereja seperti dikemukakan dalam Konstitusi Lumen Gentius (Terang Bangsa-bangsa) dan Gaudium et Spes (Kegenbiraan dan Harapan). Dalam Deklarasi Konsili Gravissimum Educationis (Maha Pentingnya Pendidikan), sekolah katolik di bahas dalam ruang lingkup pendidikan Kristen. Dokumen ini mengembangkan gagasan deklarasi tersebut dengan berefleksi secara lebih mendalam atas sekolah Katolik.
Tugas luhur tersebut selanjutnya diemban oleh penyelenggaraan Lembaga Pendidikan Katolik (LPK).LPK merupakan wujud partisipasi masyarakat Katolik dalam rangka ikut mrncerdasakan kehidupan bangsa.Gereja mempunyai harapan besar terhadap LPK untuk setia terhadap pencerdasan bangsa dan kekhasan pendidikan Katolik. ”Kekhasan pendidikan Katolik dalam penyelenggaraan pendidikan antara lain mengusahakan cita-cita budaya dan perkembangan kaum muda secara alamiah, mewujudkan suasana kekeluargaan di sekolah yang dijiwai oleh semangat kebebasan dan cinta kasih injili ; sekolah membimbing anak-anak muda agar perkembangan mereka masing-masing sebagai pribadi dan sebagai ciptaan baru berkat sakramen babtis terlaksana bersama-sama; sekolah mencoba untuk mengaitkan segala yang berasal dari kebudayaan manusia dengan warta gembira penyelamatan, agar cahaya iman menerangi segala sesuatu tentang dunia, tentang kehidupan dan pribadi manusia yang dipelajari secara bertahap oleh para siswa”. (GE, art 8).
Pendidikan yang sejati harus meliputi pembinaan utuh dari pribadi manusia, suatu pembinaan yang memperhatikan tujuan akhir manusia dan serentak pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan para remaja hendaknya dibina sedemikian rupa sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis ; dan sehingga mereka memperoleh suatu rasa tanggungjawab yang semakin sempurna dan penggunaan tepat dari kebebasan mereka ; pula dapat berperan serta dalam kehidupan sosial secara aktif. Dengan segala upaya Lembaga Pendidikan Mardi Wiyata terpanggil untuk ikut memperbaiki kondisi bangsa ini dengan mengedepankan nilai-nilai religiusitas, kejujuran, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab serta kebenaran universal yang bersumber dari Hati.
Kedua, Spiritualitas Hati sebagai sumber pendidikan karakter. Pembentukan budaya sekolah (school culture) dapat dilakukan oleh sekolah melalui serangkaian kegiatan perencanaan, pelaksanaan pembelajaran yang lebih berorientasi pada peserta didik, dan penilaian yang bersifat komprehensif. Perencanaan di tingkat sekolah pada intinya adalah melakukan penguatan dalam penyusunan kurikulum di tingkat sekolah (KTSP-Kurikulum 2013), seperti menetapkan visi, misi, tujuan, struktur kurikulum, kalender akademik, dan penyusunan silabus. Keseluruhan perencanaan sekolah yang bertitik tolak dari melakukan analisis kekuatan dan kebutuhan sekolah akan dapat dihasilkan program pendidikan yang lebih terarah yang tidak semata-mata berupa penguatan ranah pengetahuan dan keterampilan melainkan juga sikap perilaku yang akhirnya dapat membentuk akhlak budi luhur yang bersumber dari Hati. Pendidik dan tenaga kependidikan secara sadar memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang bersumber dari Hati Yesus dan Maria.
Ketiga, upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar baik melalui mata pelajaran maupun serangkaian kegiatan pengembangan diri yang dilakukan di kelas dan luar sekolah. Pembiasaan-pembiasan (habitus) dalam kehidupan, seperti : religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab, dsb. perlu dimulai dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut tentunya perlu ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya dapat membentuk pribadi karakter peserta didik yang selanjutnya merupakan pencerminan hidup suatu bangsa yang besar. Satuan Pendidikan dalam naungan Yayasan Mardi Wiyata secara berkala wajib memberikan pendalaman Spiritualitas Hati melalui kegiatan-kegiatan seperti Rekoleksi, Retret atau kegiatan lain yang dipandang relevan.
Keempat, Spiritualitas Hati bukan merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri atau merupakan nilai yang diajarkan, tetapi lebih kepada upaya penanaman nilai-nilai baik melalui mata pelajaran, program pengembangan diri maupun budaya sekolah. Secara terstruktur, penyebaran nilai serta Spiritualitas Hati dapat diajarkan melalui berbagai mata pelajaran sesuai dengan standar kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat dalam standar isi (SI). Begitu pula melalui program pengembangan diri, seperti kegiatan rutin sekolah, kegiatan spontan, keteladanan, pengkaderan. Konsep ini perlu disadari oleh semua pemangku kepentingan di sekolah yang secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik diterapkan ke dalam kurikulum sekolah yang selanjutnya diharapkan menghasilkan manusia yang paripurna (kecerdasan lahir dan batin).
Kemardiwiyataan merupakan implementasi Spiritualitas Hati, oleh karenanya semua tenaga Pendidik dan kependidikan diharapkan terus menggali Spiritualitas Hati Frater Bunda Hati Kudus serta karya-karyanya melalui Pendidikan Kemardiwiyataan serta memberikan masukan kepada Tim Kemardiwiyataan untuk penyempurnaan pada Edisi selanjutnya. Konsep ini perlu disadari oleh semua pemangku kepentingan di sekolah yang secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik diterapkan ke dalam kurikulum sekolah yang selanjutnya diharapkan menghasilkan manusia yang paripurna (kecerdasan lahir dan batin).