Home / Sharing Gagasan / Menakar Ulang Militansi Mardi Wiyata

Menakar Ulang Militansi Mardi Wiyata

Markus Basuki, M.Pd

Refleksi 150 tahun berdirinya Kongregasi Frater-frater Bunda Hati Kudus dari sudut pandang awam dan seorang Purna Bakti Mardi Wiyata.

Petani yang baik tidak sekadar menabur bibit, menyiram, memupuk, dan memanen, atau pergi ketika gagal panen. Seorang petani sejati akan mengamati secara seksama jenis tanah, membebaskannya dari aneka bebatuan dan rerumputan, mencangkul dan menggemburkannya, dan menjadikannya tanah subur. Setelah menaburkan bibit, ia akan menyirami dan memupuknya sepenuh hati, menyiangi serta menjaganya dari serangan hama dan penyakit. Dan akhirnya, ia akan memanen hasilnya dengan sukacita!

Insan Mardi Wiyata dan Kebanggaan Masa Lalu

Kongregasi Frater-frater Bunda Hati Kudus mengarahkan karyanya pada pembinaan kaum muda, khususnya dalam bidang pendidikan formal. Karya ini sesuai dengan keprihatinan awal pendiri saat tarekat ini didirikan di Utrecht, Nederland, 13 Agustus 1873) dan tetap relevan dengan kondisi dunia dewasa ini. Pendidikan kaum muda adalah sebuah investasi masa depan. Melalui pendidikan kaum muda sesungguhnya kongregasi telah menyumbangkan harta tak ternilai bagi dunia, yaitu penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM). Kongregasi di Indonesia sendiri sejak 1928, sudah tak terbilang jumlahnya SDM pembangun bangsa yang pernah mengenyam layanan tangan-tangan kasih para frater dan rekan-rekan kerjanya!

Yayasan Mardi Wiyata adalah sebuah yayasan yang didirikan kongregasi untuk mengelola karya Pendidikan Katolik berdasar regulasi pemerintah saat itu, meski sesungguhnya Kongregasi telah mendirikan sejumlah sekolah sejak awal hadir di Indonesia. Dinamika negeri mulai pra kemerdekaan, masa-masa sekitar dan setelah kemerdekaan, serta menjelang abad XX berakhir sungguh memberi warna bagi keberadaan Kongregasi dan karya-karyanya. Menjelang abad XXI karya pendidikan Kongregasi semakin bersinar dan membanggakan bagi setiap insan Mardi Wiyata dan masyarakat pada umumnya. Insan Mardi Wiyata adalah mereka yang secara de facto dan de jure merasa memiliki, dihidupi, dan menghidupi lembaga-lembaga pendidikan Mardi Wiyata, serta Kongregasi Frater-frater Bunda Hati Kudus pada umumnya.

Insan Mardi Wiyata meliputi orang-orang yang secara tetap menyerahkan diri untuk bekerja di ladang Mardi Wiyata. Mereka adalah para Frater dan kaum awam yang menyediakan diri untuk melayani kaum muda dalam lingkup pendidikan. Insan Mardi Wiyata adalah tangan-tangan Kongregasi untuk menyapa dan mengasihi orang-orang muda. Selain itu, insan Mardi Wiyata juga meliputi para siswa, alumni dan orangtua, serta masyarakat yang telah menjadi bagian dari keluarga Mardi Wiyata. Golongan kedua ini sifatnya tidak tetap. Meski demikian, kebanggaan sebagai insan Mardi Wiyata tidak mudah luntur oleh waktu. Dari waktu ke waktu, insan Mardi Wiyata bangga terhadap Kongregasi Frater-frater Bunda Hati Kudus, Yayasan Mardi Wiyata, serta karya-karyanya! Kebanggaan serupa juga dimiliki oleh lembaga-lembaga Pendidikan Katolik lain di Indonesia.

Era Baru, Tantangan dan Harapan Baru

Memasuki abad XXI, lembaga-lembaga Pendidikan Katolik mulai redup sinarnya. Nota Pastoral para Uskup Indonesia (2008) dengan jelas menyebut: Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) mengalami kemerosotan mutu pendidikan. Ada lima indikator yang menjadi perhatian para Uskup atas kemerosotan kualitas pendidikan katolik: 1) Kualitas SDM guru dinilai menurun, 2) LPK mengalami kesulitan keuangan, 3) Tata kelola LPK lemah, tidak profesional, pro kemapanan, lemah jejaring, dan lemah semangat korps, 4) Penurunan jumlah peserta didik, dan 5) Nilai-nilai katolisitas tidak mengkristal.

Semakin menguatnya peran pemerintah dalam mengelola pendidikan nasional, campur tangan berlebihan atas LPK menyebabkan ciri khas kekatolikan dalam lembaga Pendidikan Katolik semakin pudar. Kelambanan LPK berubah, kurang profesional, kekaburan visi dan idealisme, dan perubahan tata nilai kehidupan sungguh mempercepat kemerosotan itu. Inilah tantangan berat yang dihadapi dunia Pendidikan Katolik Indonesia, termasuk di dalamnya Yayasan Mardi Wiyata. Kondisi ini masih menjadi keprihatinan bersama LPK Indonesia hingga diadakannya Konferensi Sekolah Katolik Indonesia (KSKI) 2020 di Yogyakarta. Setelah itu dunia digemparkan dengan merebaknya pandemi Covid 19 yang mengakibatkan dunia Pendidikan Katolik semakin terpuruk hingga sekitar tahun 2022.

Sejak memasuki abad XXI sebenarnya yayasan Mardi Wiyata telah mengantisipasi berbagai perubahan dalam dunia pendidikan. Sejumlah kegiatan dan program, jangka pendek, menengah hingga jangka panjang telah dirancang oleh yayasan beserta sekolah-sekolah naungannya. Ada perkembangan di sana sini, tetapi tidak bisa dipungkiri masih banyak hal perlu diperhatikan, dipikirkan, dan dicarikan jalan pemecahan. Dan setelah masa-masa pandemi berakhir kita harus berani dengan jujur melihat kembali kondisi konkret yayasan Mardi Wiyata beserta sekolah-sekolah (juga museum serta asrama) dalam naungannya. Meski selalu tetap optimis, kita harus berani mengatakan: kondisi sekolah-sekolah kita kini tidak sedang baik-baik saja!

Kembali ke Jati Diri

Ada yang mencoba menghibur diri dengan berkata, “Sebenarnya bukan LPK yang mengalami kemunduran, tetapi kini semakin menjamur sekolah-sekola berkualitas, baik itu sekolah yang dikelola pemerintah (negeri) maupun sekolah-sekolah swasta lainnya. Bahkan kini tidak sedikit pemilik modal yang menanamkan uangnya dalam bentuk lembaga pendidikan. Maka bermunculan sejumah lembaga pendidikan umum yang glamour dan menawarkan kemewahan.”  Apapun alasannya, kenyataan konkret membuktikan banyak LPK pada masa kini mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Banyak sekolah Katolik telah ditutup karena tidak mampu lagi melanjutkan operasionalnya.

Dalam situasi demikian para pimpinan Gereja mengusulkan LPK kembali ke jatidirinya: setia pada pencerdasan kehidupan bangsa, setia pada ciri khas Katolik, dan setia pada semangat luhur (spiritualitas) pendiri. Ketiga aspek tersebut sesungguhnya merupakan “roh” dari sekolah Katolik. Ini artinya para Gembala melihat LPK telah kehilangan rohnya. Ketika LPK kehilangan rohnya pada gilirannya akan membawa dampak bagi Gereja juga, karena karya bidang pendidikan erat kaitannya dengan karya Gereja. Itulah sebabnya para pimpinan Gereja sangat peduli dengan kondisi LPK. Hari studi KWI tahun 2008 dengan tema “Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) sebagai Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul dan lebih Berpihak kepada yang Miskin”. Gereja ingin mengingatkan bahwa dalam persaingannya LPK tidak boleh kehilangan roh dan hanya mengandalkan kemewahan lahiriah!

Dalam lingkup sekolah-sekolah Mardi Wiyata kembali ke jati diri dapat diartikan sebagai hidup dan menghidupi semangat pendiri (spiritualitas) Kongregasi Fater-frater Bunda Hati Kudus. Ini artinya di balik upaya keras menemukan berbagai inovasi guna memajukan sekolah, tidak boleh lupa menanamkan “roh” pada setiap aspek kehidupan sekolah. Nilai-nilai yang tercermin dari cara hidup para Frater, sebagaimana diwariskan pendiri, haruslah menjiwai cara hidup insan Mardi Wiyata. Nilai-nilai yang bersumber pada cara hidup para Frater BHK meliputi cinta kasih, ketaatan, ingkar diri, kesederhanaan, suka bekerja keras, ugahari, dan percaya pada Penyelenggaraan Ilahi. Nilai-nilai tersebut secara ringkas tercermin dari moto Kongregasi In solicitudine et simplicitate yang berarti “Dalam kepeduliaan dan kesederhanaan”.

Markus Basuki, M.Pd (kanan) saat menjadi narasumber

Semangat Pendiri (Spiritualitas) dan Militansi Mardi Wiyata

Sebuah tantangan berat, ketika harus menterjemahkan dan mewujudkan suatu spiritualitas menjadi warna kehidupan. Bukan sekadar warna suasana sekolah, tetapi juga menjadi warna perilaku insan Mardi Wiyata!  Spiritualitas adalah hidup menurut dorongan Roh, dapat disebut Spiritualitas Hati karena semua nilai kebajikan yang hendak dibagikan bersumber pada hati! Hati adalah tempat terdalam dalam diri manusia. Patronnya tidak lain adalah hati Yesus Yang Mahakudus sendiri yang dipenuhi oleh Cinta Allah dan tergerak oleh belarasa bagi orang-orang kecil, orang sakit, orang kerasukan setan, serta orang lapar dan berbeban berat.

Lalu, siapa yang harus memulainya? Guru (termasuk kepala sekolah) dan tenaga kependidikan (insan Mardi Wiyata) adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab dalam membumikan nilai-nilai luhur itu!  Jadi, sebagai insan Mardi Wiyata, spiritualitas hati berarti: HIDUP dan MENGHIDUPI nilai-nilai yang diwariskan pendiri Kongregasi. Mgr. Andreas Ignatius Schaepman, seperti cinta kasih, ketaatan, ingkar diri, kesederhanaan, kerja keras, ugahari, percaya pada Penyelenggaraan Ilahi, serta peduli! Perlakuan seorang insan Mardi Wiyata terhadap sesamanya menjadi tolok ukur spiritualitasnya.

Insan Mardi Wiyata (baca: guru dan tenaga kependidikan – termasuk para frater) setiap saat berinteraksi dengan murid, sesama guru/tenaga kependidikan, pimpinan, bawahan, orangtua, dan masyarakat. Ketika setiap interaksi dijiwai oleh nilai-nilai seperti: kasih dan kepeduian, niscaya siapa pun yang dihadapi akan merasa nyaman karena diterima sebagai manusia seutuhnya. Dan ketika suatu lembaga telah memiliki iklim kasih dan kepedulian, maka akan terbentuk suasana tenteram dan bahagia, yang pada gilirannya akan dirasakan banyak orang dan memancar ke luar sebagai pewartaan kabar sukacita!

Insan Mardi Wiyata militan adalah mereka yang tidak sekadar mampu melaksanakan tugas-tugas formalnya secara profesional, tetapi lebih dari itu ia hadir sebagai sosok yang membuat orang lain bahagia. Kata-kata dan perilakunya tidak hanya mengajarkan nilai-nilai kebenaran, tetapi dia bisa hadir sebagai teladan akan kebenaran itu! Insan Mardi Wiyata militan adalah mereka yang berpikir, berbicara dan berkarya dengan hati, hingga mampu menyentuh kedalaman hati sesamanya! Insan Mardi Wiyata militan adalah mereka yang mampu bertolak ke tempat yang lebih dalam, yakni kedalaman hati murid, teman sejawat, pimpinan, tim kerja, orangtua, dan masyarakat!

Guru dan Tenaga Kependidikan, Ujung Tombak

Tugas perutusan insan Mardi Wiyata adalah mendidik dan membina kaum muda (murid)! Tanpa kehadiran kaum muda guru dan tenaga kependidikan telah kehilangan hidupnya. Murid (peserta didik) adalah “tuan” yang menjadi tujuan pelayanan guru dan tenaga kependidikan. Semakin banyak peserta didik semakin semaraklah ladang karya kita. Maka ketika tak banyak peserta didik yang datang, wajah kita menjadi suram! Bisa jadi selama ini pelayanan kita tidak membahagiakan mereka, sehingga mereka mencari tempat lain yang lebih menarik. Bisa jadi selama ini kita kurang menyapa mereka yang “tersisih” dan terlalu memuja yang “berprestasi cemerlang”. Sekolah Katolik diutus menjadi ladang pewartaan kabar gembira, unggul, dan lebih berpihak kepada yang miskin. Bukankah sangat banyak “anak miskin” ada di hadapan mata? Mereka adalah anak yang tersingkirkan karena dianggap “nakal”, “bodoh”, “miskin”, dan “bermasalah”. Barangkali inilah roh yang mesti dihadirkan kembali dalam pendidikan kita.

Dewasa ini sekolah-sekolah Katolik sedang bersaing menawarkan keunggulannya. Sebagian orangtua juga semakin bangga ketika suatu sekolah berprestasi tinggi, apalagi melibatkan anaknya. Maka sekolah yang berprestasi menjadi rebutan. Alhasil setiap sekolah berusaha sekuat tenaga mencari inovasi-inovasi demi prestasinya. Ini tentu saja baik. Akan tetapi, kenyataannya tidak banyak murid yang tergolong “bintang”. Mayoritas murid yang tak tergolong bintang kini saatnya lebih diperhatikan. Dari sana sebenarnya dapat digali banyak kemampuan yang sangat layak membuatnya disebut “bintang”. Dan, tidak salah jika kita sekarang mengatakan: semua murid adalah bintang!

Sekolah adalah komunitas pendidikan. Sudah tiba saatnya menjadikan sekolah sebagai komunitas kasih, komunitas hati, komunitas peduli! Upaya ini tidak akan berhasil jika hanya mengutamakan keandalan insan/individual. Diperlukan kolaborai antar sel komunitas itu. Langkah cerdas seperti apa pun akan lemah ketika dilaksanakan secara perorangan. Maka perlu kerja sama dan kerja bersama. Komunitas haruslah menjadi jaringan sel-sel yang saling menghidupi, bukan saling mematikan. Tatkala salah satu sel menjadi lemah, sel lain memberi penguatan. Kepedulian saling menguatkan ini akan menjadi penyemangat baru ketika terjadi tantangan berat. Ketika salah satu sel melakukan kesalahan, diperlukan keiklasan hati untuk saling memaafkan!

Dalam Kepedulian dan Kesederhanaan

Akhirnya, dalam Kepedulian dan Kesederhanaan mari, hai insan Mardi Wiyata, kita belajar bangga dan mencintai ladang karya kita. Mari belajar bangga terhadap murid, teman sejawat, pimpinan, sekolah, Kongregasi Frater-frater Bunda Hati Kudus, dan bangga akan Tuhan Yesus dan Maria Bunda Hati Kudus. Mari bangga dengan suka dan duka, kurang dan lebih, derita dan bahagia komunitas kita.

Dalam Kepedulian dan Kesederhanaan kita mencoba membumikan Spiritualitas Hati lewat pembelajaran, pembiasaan dan peraturan, penciptaan suasana, pelayanan, perilaku keteladanan, dan komunikasi efektif. Dalam Kepedulian dan Kesederhanaan kita belajar berpikir, berbicara, dan melayani sesama dengan hati. Dengan Kepedulian dan Kesederhanaan kita mencoba berlayar ke tempat yang dalam, yakni di kedalaman hati paramurid, orangtua, sejawat, pimpinan sekolah, yayasan, Kongregasi, dan masyarakat!

Seperti seorang petani sejati, ketika lahan karya kita subur dan panen melimpah mari kita bersyukur dan bersuka cita. Namun, ketika lahan kita mulai tandus dan panen menipis, jangan tinggalkan dia! Lahan kita membutuhkan kerja keras dan cerdas, membutuhkan hati kita yang penuh cinta! Tuhan memberkati dan Bunda Hati Kudus melindungi.

Markus Basuki, M.Pd

About fraterbhk

Check Also

Pendidikan Karakter bagi Generasi Milenial

Keberadaan dan peradaban manusia sejak semula tidak terpisah dari pembentukan karakter yang berdampak positif terhadap …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.