Renungan Konstitusi Pasal 57
Persekutuan membutuhkan kita dan kita membutuhkan persekutuan. Tiap-tiap orang menyumbang, memberi isi dan daya hidup kepada persekutuan, dengan mendaya-gunakan sungguh-sungguh bakat dan kemampuannya untuk sesama.
Para Saudara terkasih,
Konstitusi pasal 57 mengingatkan sekaligus membangun kesadaran kita tentang salah satu unsur fundamental atau salah satu pilar utama dalam hidup religius, yaitu hidup persekutuan. Apa artinya “hidup”? Masing-masing Frater memiliki pemahaman akan arti dari hidup itu sendiri artinya bahwa setiap kita dapat mengartikannya dengan apa saja menurut perspektif dan cara pandang kita tentang makna hidup. Bagi sebagian orang “hidup” berarti “hura-hura”, yakni memupuk seluruh kesenangan untuk seumur hidup. Bagi orang-orang lain, “hidup” berarti memperoleh sebanyak mungkin harta, kenikmatan, dan kekuasaan. Bagi mereka yang ambisius, “hidup” berarti kesuksesan dalam bidang bisnis, politik atau seni, menjadi terkenal atau setidaknya menonjol dalam salah satu profesi.
Ada banyak defenisi “hidup” sebagaimana banyaknya orang. Bagaimana menurut Anda? Menurut pengalaman saya, saya telah sungguh-sungguh belajar untuk hidup, mereka yang belajar untuk hidup secara menyenangkan bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Biasanya mereka belajar melalui serangkaian penderitaan, suka-duka. Sejauh yang dapat saya pahami, rahasia dari semuanya adalah bahwa mereka pernah mempelajari bagaimana menjalani kehidupan mereka sendiri dan menghargai orang lain. Mereka mengontrol diri sendiri tanpa membiarkan orang lain mengontrol mereka. Dalam proses tersebut, mereka berusaha untuk tidak mengontrol orang lain. Mereka mengalami kedamaian, ketentraman, dan kepuasan hati.
Hakikat hidup kita sebagai religius menuntut bahwa kita hidup dalam persekutuan: suatu persekutuan hidup demi tujuan tertentu dan demi nilai hidup yang tertinggi. Sebagai suatu persekutuan hidup dalam komunitas, wilayah, dan kongregasional, kita diwajibkan untuk mengungkapkan dan mewujudkan persekutuan hidup yang berkualitas. Kita dituntut dan menuntut diri untuk dalam kesetiaan dan keterikatan kita dengan dan dalam persekutuan hidup, mengungkapkan suatu relasi kasih yang timbal balik. Prinsip yang perlu terus menerus disadari oleh kita dalam kebersamaan hidup, yaitu :
- Kesadaran diri bahwa persekutuan (perorangan, komunitas, wilayah, kongregasi) sungguh membutuhkan saya, pengorbanan saya (tenaga, pikiran, pekerjaan,waktu), maka saya hendaknya merelakan diri, mengorbankan diri demi kebaikan dalam pertumbuhan dan perkembangan persekutuan.
- Hendaknya kita sadar bahwa sebagai manusia, insan yang lemah, kita memiliki banyak keterbatasan dan kekurangan, maka kita dengan rendah hati dan terbuka membutuhkan persekutuan untuk menolong, menopang, menguatkan, mendampingi, memotivasi, memberikan koreksi dalam mewujudkan “diri ideal” saya.
Dengan kesadaran diri ini (selalu hidup sadar) maka setiap anggota sungguh punya andil dalam menyumbang, memberi isi dan daya hidup bagi persekutuan: melayani persekutuan dengan kekayaan yang ada dalam diri setiap anggota. Kita hendaknya sungguh hidup dalam sikap saling ketergantungan satu sama lain.
Dalam kebersamaan hidup (hidup persekutuan) ini, kita saling menguatkan, membiarkan diri ditopang oleh persekutuan untuk bersama-sama mendaya-gunakan seluruh kekayaan diri dengan bakat, kemampuan, ketrampilan, anugerah, waktu demi pelayanan kepada sesama dalam persekutuan maupun diluar persekutuan. Kita hendaknya belajar bahwa kehadiran saya dalam persekutuan selalu demi kebaikan bersama, dan kehadiran persekutuan selalu menguatkan saya dalam perziarahan panggilan sebagai Frater Bunda Hati Kudus. Inilah relasi mutual (relasi saling menguntungkan) yang hendaknya dibangun bahwa saya membutuhkan persekutuan tapi pada saat yang sama persekutuan membutuhkan saya. Marilah kita belajar hidup dalam persekutuan secara sadar bahwa kita adalah orang pilihan Allah yang memberikan hidup secara total demi kemuliaan Tuhan yang kita puji dan kita sembah.
Tim Konstitusi