Setelah mereka tahu bahwa saya adalah seorang Frater dari Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus (Frater BHK), Frater (biarawan) seumur hidup yang tidak ditahbiskan menjadi Imam atau Pastor (menjadi Frater kekal), beberapa di antara mereka ada yang menyayangkan pilihan hidup saya. Mereka bertanya, “Mengapa kok pilih jadi Frater saja, ya? Kenapa tidak jadi Romo sekalian? Sayang ya, sudah hidup membiara, tapi kok hanya jadi Frater, tidak ditahbiskan jadi Iman? Padahal ada begitu banyak biara atau ordo imam?” Mereka masih menambahkan keluhan-keluhan bernada menyayangkan lainnya.
Secara sederhana, biasanya saya langsung menjawab, “Saya tidak menjadi Imam karena saya memilih menjadi Frater BHK.” Jawaban saya ini terlihat logis, tetapi tidak memenuhi harapan para penanya. Mereka membutuhkan penjelasan yang lebih. Berikut ini adalah penjelasan saya.
Berbicara tentang panggilan untuk hidup membiara harus diakui bahwa kita akan berhadapan dengan konsensus bahwa panggilan adalah sebuah misteri. Karena memang demikian adanya. Panggilan khusus ini adalah hak prerogatif Allah, Sang Pemanggil itu sendiri. Allah mempunyai kuasa dan kewenangan untuk memanggil siapa saja yang dikehendaki-Nya. Kemudian oleh para guru spiritual merefleksikan bahwa yang dipanggil untuk hidup membiara hanya mereka yang dikasihi-Nya. Apakah Allah pilih kasih? Apakah Allah tidak adil? Menurut saya, kita perlu melihat kembali pada hak istimewa milik Allah itu. Adalah Allah yang mempunyai rencana dan rancangan terhadap siapa pun ciptaan-Nya.
Di dalam Gereja Katolik, ada kelompok-kelompok yang menjalani panggilan khusus ini, selain panggilan untuk hidup berkeluarga. Apa yang disebut dengan para Imam, Biarawan dan Biarawati, itulah yang saya maksudkan dengan kelompok-kelompok itu. Ada orang yang dipanggil menjadi Imam untuk melayani sakramen-sakramen dalam Gereja. Ada yang dipanggil menjadi Biarawan, sebagai Bruder atau Frater kekal. Ada juga yang dipanggil menjadi Biarawati, menjadi Suster Biarawati. Apakah ada tingkatan dalam kelompok kaum berjubah ini? Menjadi Imam lebih tinggi dari Biarawan atau Biarawati? Saya kira tidak demikian.
Pada prinsipnya, memilih hidup membiara artinya ikut secara khusus mengambil bagian dalam tugas-tugas Gereja yang diwariskan oleh Yesus Kristus. Ada banyak tugas Gereja dalam meneruskan tugas perutusan Allah yang dilakukan Tuhan Yesus semasa hidup-Nya di dunia. Sebagai pemimpin, imam, guru, tabib, gembala dan sebagainya. Di sinilah peran umat beriman, pengikut Kristus yang di antaranya adalah kaum berjubah. Mereka mengikuti Yesus dan mengambil sebagian dari tugas Yesus dalam karya pelayanannya. Ada yang mengikuti Yesus sebagai pemimpin (imam)/gembala lalu dipanggil menjadi Imam. Ada yang mengikuti Yesus sebagai guru lalu berkarya di bidang pendidikan dan pengajaran. Ada yang mengikuti Yesus sebagai tabib (dokter) kemudian berkarya di bidang kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terlalu banyak tugas yang harus diemban apabila sebuah kongregasi mengambil semua tugas perutusan yang diwariskan Yesus. Oleh karena itu, sebuah kongregasi cukup mengambil satu tugas yang menjadi fokus pelayanannya, di samping tugas-tugas lain yang memungkinkan terutama atas kebutuhan gereja dan demi melayani umat.
Sampai di sini saya kira sudah jelas, mengapa saya tidak menjadi Iman saja sebagaimana yang diinginkan beberapa orang yang pernah mengenal saya, tetapi saya memilih menjadi seorang Biarawan, seorang Frater kekal dan tidak ditahbiskan menjadi Imam. Tuhan memanggil saya untuk menjalani hidup dalam panggilan khusus ini, menjadi seorang Frater Bunda Hati Kudus. Saya bahagia dengan panggilan hidup saya. Sama bahagianya dengan mereka yang menjadi Imam atau hidup berkeluarga. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tuhan memanggil siapa saja sesuai rencana dan rancangan-Nya dengan tugas dan tanggung jawab yang telah disiapkan-Nya. Dengan demikian, menjadi Frater BHK tidak sama dengan menjadi Biarawan kelas dua karena memang begitulah adanya. Frater BHK bukan Biarawan kelas dua!
Fr. M. Walterus Raja Oja, BHK