Sisiphus disiksa para dewa karena melanggar suatu kesepakatan. Apa dan bagaimana bentuk hukuman dari pelanggaran itu? Sisiphus dihukum agar mendorong sebuah batu raksasa dari dasar lembah ke puncak gunung. Tak sepatah kata penolakan pun terucap, terlontar dari bibir setianya. Saat hukuman akan segera dijalankan pun, dengan gagah dilakoninya.
Sisiphus mendorong batu raksasa itu dari dasar lembah ke puncak gunung dengan sekuat tenaganya. Batu itu pun mulai bergeser. Lambat laun, Sisiphus mulai berkeringat deras, membanjiri sekujur tubuh letihnya. Meski begitu, ia tetap setia mendorong batu raksasa itu.
Namun sayang, seribu sayang. Ternyata batu itu kembali menggelinding ke dasar lembah karena ia kehabisan daya. Kini, letih lelah benar-benar menghantui jiwa raganya, menggayuti kehendaknya, dan meracuni kobaran api tulusnya.
Kini, sekali lagi ia kembali mendorong. Batu itu pun merayap kian mendekati puncak gunung. Namun sayang, dia sekali lagi kehabisan tenaga, sehingga batu itu pun kembali melesat ke dasar lembah.
Apa daya, kini ia kehabisan tenaga. Namun, ia pun tetap bertekad bulat untuk kembali mendorong batu itu. Dan ternyata kali ini, batu itu banar-benar kian mendekati pucak gunung. Hatinya pun mulai membayangkan bahwa hukuman konyol itu akan segera sirna.
Namun, apa daya … batu itu ternyata kembali menggelinding ke dasar lembah. Sisiphus terperengah, terperanjat kesal, terpukul, dan kian tersiksa batinnya. Kini, ia sadar, ia telah gagal total.
Saat itu, dari gundukan gemawan beriring, tampak terulur ribuan pucuk tangan sambil berseru lantang, “Sisiphus, mulai saat ini, kamu bukanlah si terhukum, terpidana. Kamu adalah pahlawan kesetian serta ketulusan. Kamu telah memenangkan ajang paling getir itu melalui sikap patuh serta setiamu.
Tatkala malam datang merayap, sambil menatap jutaan kedipan gemintang, terlontar, terucap dari bibir tulusnya, “Gusti Allah, hanya satu yang tertinggal di sini, … sekeping kesetiaan …”
Fr. M. Christoforus, BHK