Ada empat (orang) manusia terjebak dalam terowong gelap. Spontan keempat manusia itu bereaksi atas sikon itu. Yang seorang dalam kecemasan berusaha mati-matian untuk keluar dari kegelapan dengan berlarian kian kemari mencari lubang untuk segera keluar. Yang seorang justru santai saja, bahkan sambil menyandarkan tubuhnya, ia bernyanyi seolah tidak terjadi sesuatu. Yang seorang lagi, justru tidur dengan nyenyak dan bahkan sempat mengorok. Sementara itu, orang keempat mengatupkan bola matanya sambil mulutnya berkomat-kamit, rupanya ia berdoa agar segera dapat terhindar dari kegelapan itu.
Saudara, itulah reaksi spontan dari keempat manusia terowongan itu. Itulah reaksi spontan setiap manusia saat menghadapi suatu kondisi. Berbeda? Ya berbeda! Yang satu gelisah-cemas, yang lainnya santai-santai saja, yang lain tekun berdoa, dan yang lain lagi justru tidak menghiraukan kondisinya, malah tidur-tiduran.
Sesungguhnya, inilah realitas reaksi spontan anak manusia dalam kehidupan riil kita sehari-hari. Ternyata, anak-anak manusia itu telah benar-benar mempraktikan bahwa mereka sesungguhnya adalah makhluk individu yang memang tidak harus membutuhkan orang lain. Namun di sisi lain, bukankah manusia itu juga adalah makhluk sosial? Yang sibuk membutuhkan uluran tangan dan perhatian sesamanya? Ya, dua-duanya benar!
Yang mengusik nurani saya justru, mengapa keempatnya tidak berusaha untuk menggalang kekuatan bersama dan mencari solusi bersama untuk keluar dari kemelut itu? Mengapa mereka justru hanya berupaya menurut pandangan dan pendapatnya sendiri? Bukankah kekuatan keempatnya akan jauh lebih dahsyat justru saat mereka menggalang kekuatan bersama? Saudara, inilah realitas kita!
Keempatnya memang tidak merasa saling membutuhkan. Keempatnya justru sibuk ”ber-aku-kau, ber-lu-lu-gue-gue saja”. Saudara, ini bukan perkara fisik material, tetapi ini masalah mental spiritual. Bahwa orang boleh cerdas secara nalar, belum tentu memiliki kecerdasan mental spriritual. Maka, lupakan segera sikap hanya mengandalkan kecerdasan nalar, tetapi segera lengkapi dengan kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual.
”Menjadi Saudara yang Mendengarkan” itu tidak sekadar mengandalkan telinga fisik, tidak sekadar soal kedekatan jarak antarperson. Menjadi Saudara yang Mendengarkan jauh lebih berarti, ketulusan serta kejujuran nurani yang terbuka terbelah luas lebar bergetar yang setiap saat peka serta mudah merasa dan gampang terhanyut. Maka, sekalipun engkau jauh nian di Palembang (Sumsel), dan aku di Weetebula (Sumba Barat Daya, NTT), tetapi aku dan kau pun dapat saling mendengarkan. Namun, jika engkau dan aku memang tidak saling peduli, angkuh, dan selalu merasa di atas angin, maka antarkita bak musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan, serta api dalam sekam dan duri dalam daging. Maka, biar aku dan kau hanya seinci berjarak, tetapi percayalah, kita tak akan saling mendengarkan.
Filsuf Blaise Pascal pernah bilang, ”Sesungguhnya manusia ini tidak bahagia, karena mereka tidak bisa tinggal diam sendirian di kamarnya.” Manusia memang selalu ingin berada dalam keramaian, walau keramaian itu tak memberinya tempat dan kemungkinan untuk menukik ke dalam kediriannya yang terdalam. Kendati demikian, manusia selalu terdorong untuk kembali kepada kesendirian dan kediriannya.
Fr. M. Christoforus, BHK