Siang itu orang-orang pada lari berhamburan. Ada yang berteriak, ada yang berekspresi ketakutan. “Ada apa gerangan?” tanyaku dalam hati. Kebetulan mobil yang kami tumpangi melintas ke arah kerumunan orang banyak itu. Oh…, tenyata sepasang suami-istri terlibat perang mulut yang hebat dan mereka berlagak seperti musuh kali ini. “Kasihan!” kataku lagi dalam hati.
Janji manis, ucapan kasih sayang, dan senyum ria sebelum pernikahan, kini punah termakan egois diri sendiri dan emosi yang meluap-luap. Bukan hanya itu, si istri sudah bersimbah darah lantaran tusukan pisau di bahunya. Terdorong rasa ingin tahu, kami bertanya, mengapa keduanya terlibat perkelahian yang dahsyat itu. Jawabannya sangat sederhana. Itu karena kesalahpahaman, keduanya memang sering terlibat debat-debat bisnis rumah tangga. Parahnya lagi, percekokkan macam itu terjadi di jalanan, bukan di dalam rumah mereka.
Siang itu orang pada lari berhamburan, ada yang berteriak, ada yang berekspresi ketakutan. “Ada apa gerangan?”, tanyaku dalam hati. Kebetulan mobil yang kami tumpangi melintas ke arah kerumunan orang itu. “Oh …..tenyata sepasang suami istri terlibat perang mulut yang hebat dan mereka berlagak seperti musuh kali ini. “Kasihan !!”, keluhku dalam hati karena janji manis, ucapan kasih sayang, senyum ria sebelum pernikahan kini punah termakan egois diri sendiri dan emosi yang meluap-luap. Bukan hanya itu, si istri sudah bersimbahkan darah lantaran tusukan pisau di bahunya. Terdorong rasa ingin tahu kami bertanya mengapa keduanya terlibat perkelahian yang dasyat, dan jawabannya sangat sederhana. Itu karena kesalahpahaman, ke-duanya memang sering terlibat debat-debat bisnis rumah tangga, tapi di jalan bukan di dalam rumahnya.
Aku lalu teringat sebuah pelajaran tua yang menarik untuk dikenang tentang lidah. Orang mengatakan bahwa organ ini memang kecil, tetapi bisa memprovokasi perang antarasuku, atau antarbangsa dalam konteks yang lebih luas. Orang yang paling pandai memprovokasi adalah politisi yang membakar emosi orang dengan kepandaian lidah, memanipulasi kata untuk meyakinkan orang, walaupun tidak selalu benar dalam realitas hidup itu sendiri. Pengalaman menunjukkan, bagaimana orang berantam gara-gara salah bahasa atau tesalah lidah dalam bahasa Indonesia versi Larantuka (Nagi).
Pertanyaan yang tersisa adalah apakah benar lidah yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Terserah Anda berpikir, berefleksi, dan berdebat tentang jawaban atas pertanyaan ini. Pernah dengar orang mengatakan, “Kamu tidak berguna sama sekali; yang ini tidak bisa diatur lagi; aduh, anak muda ini sulitnya; sudah tak ada sumbangan untuk komunitas, parasit lagi, sumber petaka komunitas, orang sulit, dan sebagainya.”
Bagaimana Anda menyikapi kalau ini tertuju kepada diri Anda sendiri? Terserah Anda menjawab. Mungkin untuk orang yang tidak terbiasa, ungkapan ini seperti suatu tusukan duri tajam yang mengeser harga dirinya sebagai manusia, merendahkan martabat luhurnya. Namun, untuk yang sudah biasa mendengar, itu malah jadi “lagu lama” yang tak punya arti atau gema lagi. Memang manusia kadang mati rasa dalam titik-titik tertentu. Pertanyaan yang tersisa tetap sama, “Apakah lidah yang salah?” Jangan dulu cepat-cepat mengadili.
Lidah sebenarnya hanyalah sarana yang digunakan oleh otak (sumber kesadaran) untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran atau pergulatan pemikiran seseorang. Hanya saja seperti St. Paulus mengatakan bahwa semua organ adalah satu kesatuan, maka lidah pun turut terbawa-bawa kalau ada salah ungkap. Memang manusia pada kodratnya memiliki keterbatasan dalam mengungkapkan apa yang terlintas dalam pikirannya untuk dimengerti oleh orang lain. Kita mungkin mendengar orang mengatakan, “Itu maksud saya,” setelah dijelaskan oleh orang lain. Itu maksud saya adalah ekspresi keterbatasan bahasa dan fungsi lidah dalam mengkonkretkan pikiran dari sumber kesadaran (otak) untuk dimengerti oleh orang lain.
Agar topik asal omong ini punya nilai kontekstual untuk kita semua, marilah kita jujur bertanya, bagaimana kita sebagai makhluk sosial, individual yang otonomi, mengefektifkan peranan lidah dalam hidup persaudaraan kita sebagai teman seperjalanan, sebagai seorang yang diberi mandat untuk memimpin yang lain, sebagai orang yang memegang peran untuk menentukan nasib orang lain dan peran-peran yang lain.
Jujur saja harus diakui bahwa banyak orang sakit hati (harap tidak makan hati) gara-gara kata-kata yang kita ucapkan terlalu lancang, tidak diplomatis, tidak bersahabat yang mengarah kepada rasa frustrasi yang berkepanjangan. Ini kemudian jadi alasan yang paling empuk ketika seorang saudara meninggalkan hidup persaudaraan.
Ada sepenggal pepatah tua yang terbesik di setiap kesadaran manusia sebagai seorang pemimpin: Dengan lidah Anda dapat menguasai orang lain. Karena itu, selalu gunakan lidah untuk kebaikan. Jangan sekali-kali mengecam dengan lidah sebab lidah adalah pedang bermata dua. Seperti dalam Injil dikatakan bahwa kalau salah satu tanganmu yang berbuat salah lebih baik dipotong, agar Anda masuk surga dengan satu tangan daripada dua tangan utuh yang berdosa, tetapi masuk neraka, diterapkan dengan lidah maka lebih baik lidahmu dipotong kalau tesalah omong.
“Eh…, jangan asal omong!”
“Memangnya kengapa? Ini kan pojok asal omong?”
Lidah tetaplah organ yang penting untuk manusia pada umumnya.
Fr. M. Vinsensius Laga Payong, BHK