1. Pengantar
Memaknai tiga kata Frater, Biarawan dan Guru dalam terang Kitab Suci tentulah bukan hal yang mudah. Ini adalah tiga kata biasa yang diberi makna mendalam atau kata biasa yang diluarbiasakan. Pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan adalah apakah ketiga kata itu memang punya makna dan penting untuk kita? Apakah karena ketiga kata itu telah mengalami atrisi atau kehilangan makna dan kekuatannya dalam kehidupan para frater? Kalau itu menjadi alasannya: maka dalam konteks pertemuan ini ketiga kata Frater, Biarawan, Guru jelas menjadi tiga kata biasa yang harus dimaknai secara luar biasa atau diluarbiasakan. Jika benar ketiga kata itu telah kehilangan makna, citra, nuansanya dalam keseharian hidup dan panggilan kita maka saat ini harus dijadikan sebagai momen revitalisasi dalamnya kita berusaha menghadirkan, menyegarkan kembali makna ketiga kata itu.
Jika itu yang kita kehendaki dan jika itu yang terjadi maka perjumpaan ini tepat disebut sebagai peristiwa siraman rohani. Karena konteksnya siraman rohani maka saya percaya semua kita akan membuka lahan hati dan taman jiwa untuk menerima proses pemaknaan tiga kata biasa yang diluarbiasakan ini. Bagaimana kita jadikan tiga kata biasa itu menjadi tiga kata luar biasa? Jawabannya harus kembali pada konteks siapa yang menyebutkan kata-kata itu dan kepada siapa kata-kata itu dialamatkan. Ketiga kata biasa itu diucapkan oleh orang biasa dalam cara yang luar biasa. Orang biasa yang meluarbiasakan kata-kata itu pada akhirnya menjadi orang luar biasa dan dialah Pendiri Tarekat Frater BHK, Ignatius Andreas Schaepman. Tiga kata itu menjadi istimewa karena diucapkan oleh sang pendiri Tarekat Frater BHK dan dialamtkan kepada semua pengikutnya. Saya kira dalam pelajaran tentang sejarah Tarekat para frater telah mempelajari mengapa pendiri menggunakan kata Frater dan bukannya bruder.
Kata Frater, Biarawan dan Guru itu secara istimewa dikatakan pendiri sebagaimana tertulis pada buku doa Kongregasi Frater BHK terbitan tahun 1994 halaman 293 di bawah judul ” Pikiran-pikiran yang Membangun” pada point pertama tertulis kata-kata Pendiri dalam beberapa kalimat ini: (1) Saya memerlukan FRATER-FRATER yang berkeyakinan mendalam tentang pentingnya pendidikan kaum muda. (2) Saya memerlukan BIARAWAN-BIARAWAN yang Rajin yang unggul dalam kebijaksanaan dan kecakapan dijiwai oleh suatu itikat yang murni, pembaktian diri yang besar untuk tugas yang ditunjuk pembesar kepada mereka. (3) Saya memerlukan orang laki-laki yang sanggup mencamkan kebenaran dasariah kepada MURID-MURID yang dipercayakan kepada mereka. Dari kutipan kata-kata pendiri ini kita melihat ada kata Frater, Biarawan, sedangkan kata guru itu disembunyikan atau diandaikan ada dalam kata murid-murid. Kalau kita rumuskan secara singkat kata-kata pendiri tadi menjadi Saya MEMERLUKAN FRATER, BIARAWAN, DAN GURU.
Kata-kata dan kalimat bernada harapan dan membangun yang dikatakan sang pendiri ini tegas dan jelas. Ia MEMERLUKAN FRATAER, BIAARAWAN, DAN GURU. Kata memerlukan yang diletakkan di depan tiga kata itu sangat penting untuk dimaknai. Mengapa? Karena pemilihan untuk menggunakan kata MEMERLUKAN itu oleh pendiri saya kira bukan sebuah kebetulan tetapi memang betul adanya dan itulah yang betul. Pemilihan kata itu sesungguhnya (minimal dalam refleksi saya) merujuk pada satu momen penting dalam misi perutusan Yesus di mana Yesus juga harus menggunakan kata itu. Momen-momen puncak pelaksanaan misi Yesus diwarnai dengan pemakaian kata ”MEMERLUKAN” ini. Kita bisa ambil salah satu momen yaitu ketika Yesus hendak masuk kota Yerusalem Ia ketiadaan fasilitas transportasi. Untuk itu kita akan melihat bagaimana idealisme pendiri ini dikaitkan dengan apa yang menjadi misi Yesus.
Terinspirasi oleh kata-kata pendiri sebagai pikiran yang membangun ini, saya lalu memutuskan mengambil teks Markus tentang kisah Yesus masuk Yerusaelm yang biasanya dipakai pada perayaan hari Minggu Palma. Dalam konteks seperti inilah, saya kemudian merumuskan judul bahan pertemuan kita ini menjadi FRATER, BIARAWAN, GURU:PILIHAN MENJADI KELEDAI DI TANGAN TUHAN.
2. Harapan Pendiri dalam Konteks Misi Yesus
Ada banyak hal yang menarik yang perlu kita maknai dan renungkan dari teks injil Markus tadi kalau dikaitkan dengan apa yang dikatakan pendiri Frater BKH tadi. Untuk kepentingan dalam pertemuan ini saya mengajak kita semua melihat dan memaknai beberapa kata kunci sebelum kita melihat keseluruhan pesan injil dengan status kita sebagai Frater, Biarawan, dan Guru yang diperlukan pendiri. Dalam teks tadi ada kalimat yang bernada perintah, bermodus imperatif yang sifat mendesak atau emergence. Yesus sudah ada dan mengambil posisi dalam perjalanan mau ke Yerusalem. Yesus berhadapan dengan masalah biasa yaitu ketiadaan sarana, alat, media yang membawanya ke Yerusalem. Itu kondosinya. Begitu keadaan yang senyatanya. Untuk mengatasi kondisi ril itu Yesus meminta dua orang murid-Nya:“Pergilah ke kampung yang di depanmu itu. Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan segera menemukan seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskan keledai itu dan bawalah ke mari. Dan jika ada orang mengatakan kepadamu: Mengapa kamu lakukan itu, jawablah: Tuhan memerlukannya”.
Dari penggalan teks ini kita mencoba melihat bahwa Yesus meminta kedua murid itu ke kampung bukan ke kota. Ini jelas bahwa orientasi dan pilihan, opsi Yesus itu diarahkan kepada orang biasa, orang sederhana, orang kampung. Yesus tahu di kota, orang tidak mungkin repot memelihara keledai. Perintah Yesus itu tepat, sesuai kenyataan. Ia inginkan agar murid yang disuruh itu tidak kebingungan dan tersesat. Arah dan orientasi pencarian sesuatu itu harus jelas. Dengan cara ini dan dalam model seperti ini Yesus sebagai guru memberi perintah yang jelas. Perintah Yesus bukan saja jelas tetapi juga bercorak progresif. Yesus tidak menyuruh dua murid itu ke sembarang kampung tetapi kampung yang ada di depan. Dari sini juga jelas bahwa Yesus mau menunjukkan model kehidupan yang terus maju untuk sebuah kejamuan. Yesus memberi arah dan orientasi ke masa depan, dan bukan ke masa lampau karena perjalanan itu harus ke depan bukannya mundur. Sebagai guru yang berhadapan dengan murid-Nya Yesus mengajarkan apa artinya berjalan ke masa depan, berpandangan dan bertindak progresif sekaligus mencegah mentalitas undur-undur yang selalu berjalan mundur. Kalau selalu mau mundur, lalu kapan majunya?
Kedua murid yang diminta ke kampung di depan itu berhadapan dengan kenyataan seperti yang digambarkan Yesus. Mereka masuk kampung dan mendapatkan keledai yang tertambat. Di sini jelas yang dibutuhkan Yesus dari dua murid itu adalah kerelaaan mereka untuk pergi ke kampung yang ada di depan karena yang diperlukan itu sudah dipastikan Tuhan. Sampai di sini kita boleh disadarkan bahwa perintah Tuhan untuk melakukan sesuatu dan janji-Nya untuk mendapatkan sesuatu itu menjadi sebuah kepastian. Orang yang menjalankan perintah sesuai dengan rencana Tuhan pasti mendapatkan apa yang dijanjikan. Dalam kenyataan, seringkali orang merasakan bahwa janji-janji Tuhan tidak tergenapi seperti pengalaman dua murid tadi yang mendapatkan keledai yang sudah tertambat. Kalau kegagalan yang dialami, itu bukan karena Tuhan yang tidak menyiapkan tetapi mungkin karena manusia memlih jalan lain, jalan yang lebih panjang dan berliku-liku, mungkin juga karena manusia bukannya ke depan tetapi selalu mau ke belakang. Hal yang sama terjadi dalam soal panggilan. Orang sering mengatakan tidak ada panggilan, kalau terpaksa harus meninggalkan biara. Yang benar adalah tidak adanyanya jawaban dari manusia atau orang menunda memberikan jawaban. Yang jarang ada hanya jawaban manusia karena manusia lebih mendengarkan suaranya sendiri, keinginannya sendiri.
Dua murid tadi mendapatkan keledai yang tertambat yang disediakan Tuhan di kampung yang di depan justru karena mereka berada di jalur yang benar dan berjalan maju menuju dan mengarah ke satu sasaran yang tepat. Kedua murid itu dalam bahasa sekarang boleh dikatakan sebagai dua orang yang pandai memanfaatkan momentum. Mereka telah bertindak tepat waktu, tepat arah. Kegagalan yang selalu menimpa manusia bukan pertama-tama karena tidak adanya momentum tetapi terutama dan pertama-tama karena orang tidak pandai memanfaatkan momentum dalam arti bertindak tepat waktu dan tepat sasaran. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang gagal. Yang ada hanyalah orang yang tidak pandai menciptakan dan memanfaatkan momentum. Dua murid itu mengajarkan kepada kita tentang arti ketaatan dalam menjalankan sebuah amanat untuk mendapatkan apa yang dicari. Ada satu prinsip di kalangan komunitas SVD berkaitan dengan soal momentum ini. Saya pernah mendengar bahwa dalam pelayanan mereka menggunakan prinsip: yang paling utama adalah fokus pada rencana dan program pelayanan bukan pada soal berapa uang yang disiapkan. Bagi mereka, program dan rencana di kantong kita, sedangkan uang Tuhan sudah titipkan di kantong orang. Prinsip ini hanya mau menegaskan bahwa segala kehendak baik yang akan dijalankan dalam niat yang dan dalam cara yang baik pasti ada jalannya.
Keledai yang didapatkan kedua murid Yesus itu sesuai dengan apa yang dikatakan Yesus. Keledai itu didapati dalam kondisi tertambat, terikat. Keledai yang diperlukan itu ternyata bukan sembarang keledai tetapi keledai yang memiliki kualifikasi tertentu. Keledai itu umurnya muda, dan belum pernah ditunggang orang lain. Kalau kita pikir-pikir sebagai orang kampung, tampaknya Yesus ini mau mencari gara-gara, menacari soal dan masalah. Mengapa? Biasanya di kampung-kampung kita tidak mengenal keledai tetapi kita mengenal kuda. Semua kuda tunggangan biasanya dilatih berulang-ulang sebelum dijadikan kuda tunggangan dan itu membutuhkan keberanian karena kuda yang akan ditunggang pasti memberontak. Tambahan, kuda kampung kalau masuk kota jelas malu. Untuk mengekspresikan rasa malu seekor kuda masuk kota biasanya memberontak dan ingin lari apalagi kalau berhadapan dengan banyak kendaraan. Keledai itu, kalau dilihat mirip dengan kuda. Lalu Yesus mencari masalah: mengambil keledai orang, keledai masih muda, belum pernah dilatih dan ditunggangi, harus bawa masuk kota, harus berhadapan dengan orang banyak yang tidak mengerti perasaan keledai kampung karena mereka bersorak sorai saat keledai ditunggangi Yesus. Bagi kita, aksi Yesus ini tergolong nekad untuk tidak mengatakan gila. Hal yang mengherankan kita justru pemiliknya mengizinkan keledainya bersama Yesus ke kota Yerusalem. Lebih mengherankan lagi keledai itu tidak merasa asing atau memberontak ketika dibawa dan dipisahkan dari induknya. Keledai itu begitu lugu, tenang, sopan, rela diambil, rela dipisahkan, ditunggang memasuki kota Yerusalem. Tanggal 26 Juni 2011 untuk pertama kalinya saya melintas di jalan minggu palma ini. Setelah melihat kubur nabi Daud kami berjalan dari bukit Sion ke Yerusalem dan harus berjalan turun melewati gereja ayam berkokok, gereja air mata, gereja taman Getzemani di lembah Kidron lalu naik menuju Tembok Ratapan dan masjid Yerusalem. Saat itu saya membayangkan seekor keledai muda dari kampung ditunggang Yesus yang disoraki ribuan manusia seperti yang diksahkan dalam teks tadi.
Kisah keledai muda dengan sederetan kualitasnya yang diplih Yesus dalam teks tadi sesungguhnya juga menjadi bahan permenungan bagi kita. Kalau Yesus memilih keledai muda, itu artinya Dia sendiri akan menjadi pelatih agar keledai itu tidak memberontak saat ditungangi dan saat masuk kota. Terbukti keledai muda itu menjalankan peran dan fungsinya membawa Yesus ke Yerusalem tanpa masalah. Itu artinya, meskipun baru, muda, belum pernah ditunggangi, keledai itu mengikuti, taat pada apa yang dikhendaki Yesus sebagai guru yang menjinakkannya. Sampai di sini kita juga disadarkan bahwa keledai itu memiliki kualifikasi diri yang unggul yang memungkinkan program Yesus itu berjalan sesuai dengan rencana. Sikap keledai yang lugu, tenang, membawa Yesus ke pusat hidup yaitu kenisah Yerusalem masa itu. Juga kita disadarkan bahwa ketika Yesus tiba di Yerusalem karena jasa seekor keledai yakinlah kita bahwa keledai itu memang sudah dilepaskan dari tambatan dan ikatan di kampung asalnya. Mustahil keledai itu samapi Yerusalem tanpa dilepaskan dari ikatannya. Suatu model pelepasan dan pembebasan diri untuk dimanfaatkan bagi kepentingan yang lebih besar. Kalau boleh beranalogi dengan kasus ini, kita pun bisa bertanya dalam konteks panggilan kita.
Pertanyaan paling pokok untuk kita dalam perneungan ini adalah: mengapa keledai itu diizinkan diambil, dilepaskan dari ikatan dan tambatannya. Jawabannya hanya satu: “TUHAN MEMERLUKANNYA”. Kisah injil membutktikan bahwa keledai itu telah memenuhi KEPERLUAN TUHAN dengan menjalankan fungsi dan peran yang Tuhan rencanakan.
Dalam terang kata-kata Tuhan ini kita juga percaya bahwa pendiri tarekat frater BHK Mgr. Andreas Ignatius bukan kebetulan kalau menggunakan rumusan yang sama berkaitan dengan para frater pengikut semangatnya. Sebagai perpanjangan tangan Tuhan yang merindukan keselamatan banyak orang sang pendiri juga melanjutkan kata-kata Tuhan. “Saya MEMERLUKAN” bukan Keledai para tetapi FRATER, yang berstatus BIARAWAN, dengan tugas sebagai GURU. Terus terang sebenarnya saya senang menggunakan teks lain untuk pertemuan ini tetapi ketika saya membaca kata-kata pendiri saya lalu menggantinya dengan teks tadi. Kata MEMERLUKAN menjadi kata penting sekaligus menghubungkan apa yang dikatakan dalam injil dengan apa yang dirindukan sang pendiri tarekat BHK.
Ketiga kalimat yang disampaikan sang pendiri itu memuat tiga kata kunci permenungan kita dan tentu saja kaya arti dan syarat makna. Mengapa? Karena ketiga atribut itu (Frater, Biarawan, Guru). Ketiga kata itu dipilih dan digunakan sebagai atribut yang membedakan dan memisahkan. Pemakaian ketiga kata itu sebagai atribut memberi ciri khas atau pembeda antara apa yang boleh dan tidak boleh, antara apa yang pantas dan tak pantas untuk seorang Frater, biarawan, dan guru. Status kita, tanpa kita sadari telah membebani kita karena ada keharusan yang melekat pada status itu. Ketika kita menyebut diri sebagai frater, biarawan, guru maka sejumlah norma akan diikutsertkan sebagai ciri pembeda. Ciri pembeda berdasarkan status itu kemudian terjelma dalam pola perilaku. Dalil dan hukum sosiologis mengatakan bahwa jabatan dan status membuat orang tidak bebas. Mengapa? Karena setiap jabatan dan status, ada keharusan dan kewajibannya. Contoh sederhana: Kalau cara bicara seorang frater tidak itu tidak berbeda dengan cara bicara seorang pemuda yang bukan frater maka di situ status frater tidak lagi memiliki unsur pembeda. Semakin spesisfik dan intens seseorang mengidupi dan menghayati apa yang dipilihnya atau pilihannya semakin mudah orang mengafirmasi status orang itu. Maaf, sekadar contoh: Kalau setiap hari frater Damianus mengenakan jubah saat mengikuti misa maka orang yang bukan frater jelas mengakui, mengafirmasi bahwa Damianus itu frater karena salah satu identitas pembedanya ia tampakkan. Ketika di warung makan sebelum makan kita membuat tanda salib, orang bukan katolik yang melihat itu akan mengafirmasi atau menegaskan bahwa kita pasti orang katolik. Persoalan identitas dan unsur pembeda identitas itulah sesungguhnya yang mau dikatakan sang pendiri ketika ia menyatakan memerlukan: Frater, Biarawan, dan Guru..
Tiga penggalan kalimat pendiri yang saya kutip tadi disertai dengan unsur yang merujuk pada kondisi dan kualitas tertentu. Kualifikasi itu melekat dan menyatu dengan atribut atau identitas. Identitas FRATER ditandai dengan kedalaman kayakinan akan pentingnya pendidikan. Itu artinya kalau keyakinan akan pentingnya pendidikan kaum muda melemah atau semakin dangkal maka identitas kefrateran itu dipertanyakan. Identias, status biarawan harus diwarnai dengan kualitas diri yang rajin, unggul dalam kebijaksanaan dan kecakapan, beritikat murni dalam membaktikan diri. Jika kerajinan mengendor kebijaksanaan menipis dan pengabdian tidak total maka sama artinya kita tidak memenuhi harapan dan kerinduan sang pendiri. Atribut guru dikaitkan dengan kualitas interaksi dengan para murid dalam wujud kemampuan menanamkan kebenaran iman.
4. Frater, Biarawan, Guru: Itu Faktanya
Status Frater, Biarawan, Guru itu sudah menjadi fakta untuk kita. Itu artinya kita adalah orang-orang yang dimaksudkan pendiri untuk mengemban misi tertentu (dalam hal ini berkaitan dengan pendidikan) dengan kualifikasi yang standar. Kalau tiga status itu menjadi milik kita dan melekat pada diri setiap kita para frater maka kita mau tidak mau menyadari atau kalau perlu disadarkan bahwa seiap kita telah memenuhi kriteria standar minimal dalam ukuran sang pendiri. Faktanya kita sudah bergabung dalam persaudaraan frater BHK karena setiap kita telah melepaskan tambatan dan ikatan pada tempat asal dan kampung halaman kita. Karena itu, nunasa kebersamaan harus diwarnai semangat pendiri sehingga yang dibicarakan ada wacana bersama dan bukannya wacana dari kampung ke kampung. Keledai yang ditunggang Yesus itu sampai di kota Yerusalem karena telah dilepaskan dari ikatannya di kampung asalnya. Ketika keledai itu dipakai Yesus, pusat perhatian banyak orang bukan lagi pada keledainya melainkan Yesusnya.
Nasib keledai tidak banyak dipersoalkan tetapi yang pasti dia telah melepaskan ikatannya dan berbangga sebagai spesies binantang yang selalu dipilih Yesus. Dalam konteks analogi kita juga telah diambil karena tarekat memerlukan kita, karena itu yang paling utama dan terutama bukan lagi soal diri kita tetapi soal dan misi tarekat. Yang sulit dan sering menjadi masalah dalam kehidupan komunitas religius seperti kita adalah mudah mengucapkan tekad untuk melepaskan tambatan dan ikatan dengan asal kita (kampung, keluarga, dll.) tetapi tanpa kita sadari dalam cara berberda kita berlaku seperti laba-laba yang berusaha merajut benang halus yang pada akhirnya justru menjadi tali tambang yang mengikat kita kembali.
Sesungguhnya, jika kita hidup menurut apa yang dikehendaki sang pendiri maka kita akan lebih mudah untuk belajar pada cara sang keledai dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam kualifikasi yang tidak diragukan. Keledai itu rela dilepaskan, berjalan jauh, tekun, setia, tabah dan tahan menahan beban karena ditunggangi tetapi dalam semangat yang tak padam ia terus maju mengantar Tuhan ke tempatnya. Sebagai frater, biarawan, guru kita jelas menerima tugas dan tanggungjawab yang kadang-kadang kita melihatnya sebagai beban. Keledai itu tidak pernah berpikir membawa Yesus itu sebagai beban, Buktinya ia dengan sukses tanpa hambatan, tanda takut ia membawa Yesus ke Yerusalem.
Pendiri dan para pemimpin penerus terekat memerlukan kita para frater karena memang sampai kapan pun banyak ”yesus-yesus” muda zaman sekarang yang ketiadaan kendaraan untuk sampai ke pusat kota Yerusalem. Bagi sang pendiri masih banyak yesus yang hadir dalam diri orang muda yang tidak berpendidikan yang harus diantar untuk menikmati sikacita berupa pengatahuan dan iman yang benar. Pertanyaannya, apakah kita masih mau menjadi keledai bagi mereka? Lebih dari itu kalau kita mau menjadi keledai, kualitas apa yang harus kita miliki agar bisa membawa orang pada kesuksesan?
5. Belajar pada Yesus sebagai Frater, Biarawan, dan Guru
Jika kita melihat cara hidup Yesus kita boleh menyebut nya Frater, Biarawan dan Guru. Gelar frater dan biarawan memang tidak pernah dinyatakan di dalam kitab suci tetapi kehidupan para frater dan keberadaan biara zaman ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan dan misi Yesus. Memang banyak gelar yang diberikan kepada Yesus yang ada dalam kitab suci. Gelar guru untuk Yesus muncul justru ketika Ia memiliki pengikut yang kemudian disebut sebagai para murid. Karena yang ada dalam kita suci itu gelar guru baiklah dalam konteks acara ini kita perlu melihat sedikit tentang bagaimana Yesus sebagai guru itu.
Banyak buku atau artikel telah diterbitkan atau dipublikasikan berbicara tentang siapakah Yesus dan karya-Nya. Namun, disayangkan kebanyakan sarjana kurang memperhatikan atau telah mengabaikan potret Yesus sebagai guru.William Barclay menulis sebuah buku berisi empat puluh dua bab dengan masing-masing mengenai gelar Yesus dalam Perjanjian Baru, tetapi tidak satupun yang membahas Yesus sebagai guru (rabi). Demikian juga halnya Frank J. Matera dalam pembahasan tentang Kristologi telah mendaftarkan sejumlah identitas dan gelar Yesus, tetapi tidak memasukkan Yesus sebagai guru, apalagi membahasnya. Pengecualian mungkin R. H. Fuller dalam bukunya berjudul Dasar Kristologi Perjanjian Baru (The Foundations of New Testament Christology) telah memasukkan Yesus sebagai rabi dalam pembahasannya. Namun, pembahasannya tentang Yesus sebagai rabi juga terlalu singkat hanya sekitar dua halaman penuh dari bukunya.
Gelar Yesus sebagai guru atau rabi berbeda dari Rabi Yahudi. Perbedaan itu adalah (1) Ia bukan hanya seorang guru (manusia) seperti para rabi Yahudi, tetapi juga adalah Tuhan dan Mesias (2) Ia tidak pernah belajar pada seorang rabi yang lain seperti kebiasaan para rabi atau guru orang Yahudi pada zaman-Nya (3) Yesus mengajar dengan penuh otoritas dan keberanian. Yesus mengajarkan dengan penuh otoritas. Otoritas Yesus dalam pemberitaan dan pengajaran-Nya jelas terlihat dari instruksi-instruksi-Nya dengan satu pernyataan penekanan “Aku berkata kepadamu.” Bahkan dalam pengajaran-Nya, Yesus sering menunjuk kepada diri-Nya sebagai Anak Manusia, Mesias, Anak Allah. ( 4) Yesus mendapatkan murid-murid dalam satu cara yang sangat berbeda dengan para rabi Yahudi. Pada umumnya murid-murid Yahudi mencari guru-guru mereka, tetapi murid-murid Yesus bukan mencari Dia, melainkan Ia yang mencari dan memanggil mereka di tengah-tengah aktivitas-aktivitas mereka setiap hari (5) Yesus mengajarkan kepada bermacam-macam orang atau pendengar tanpa perbedaan (6) Yesus mengajar bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi diikuti oleh contoh dan teladan-Nya (7) Hubungan di antara Yesus dan murid-murid-Nya juga bersifat permanen dan kekal.
Dari perbedaan itu kita bias merumuskan profil Yesus sebagai guru. Ada beberapa profil Yesus sebagai guru yang menarik yaitu:
1. Yesus menemui orang-orang di mana mereka berada dan dengan demikian memampukan mereka menjadi apa yang mereka ingnkan. Dengan tindakan ini, Ia dapat menemui berbagai jenis orang dan orang-orang ini dapat menerima Dia secara serius karena kasihd an kemurahan-Nya sebagaimana terlihat ketika Ia menolong kesulitan dalam pesta pernikahan, mempedulikan perempuan Samaria yang berdosa, menyembuhkan anak pegawai istana (4:46-54), memberi makan lima ribu orang, menyembuhkan orang-orang sakit, dan membangkitkan Lazarus.
2.Yesus seringkali menggunakan unsur-unsur alam sekitarnya, seperti air, angin, makanan, domba-domba, serigala, gembala, untuk menyampaikan dan mengajarkan kebenaran rohani tentang diri-Nya maupun tentang Bapa, supaya menarik perhatian para pendengar-Nya dan membuat mereka lebih dapat mengerti pesan yang ingin disampaikan-Nya. Dalam masing-masing contoh, apakah melalui perumpamaan, amsal-amsal, atau pelajaran-pelajaran dari alam, Yesus telah menggunakan realita-realita setiap hari untuk mengajak para pendengar-Nya untuk melihat hal-hal itu secara berbeda.
3. Yesus hidup sesuai dengan apa yang Ia ajarkan dan sampaikan. Tujuannya untuk membawa perubahan dan pembaharuan pada diri para pendengar-Nya. Yesus mengajar bukan hanya dengan kata-kata yang manis seperti rabi Yahudi, tetapi juga disertai oleh perbuatan-perbuatan-Nya yang sesuai dengan ajaran-Nya.
4. Yesus berpusat pada Allah sebagai sumber otoritas-Nya. Walaupun Ia adalah Anak Allah yang diutus oleh Bapa dengan penuh kuasa dan kehendak-Nya sendiri, Yesus selama di dunia tidak pernah mencari hormat dan kemuliaan bagi diri-Nya sendiri, melainkan senantiasa bergantung dan memuliakan Bapa dalam menyelesaikan tugas Bapa. Ketergantungan-Nya kepada Bapa dinyatakan oleh tindakan-Nya yang senantiasa bersekutu dan berkomunikasi dengan Bapa melalui doa-doa-Nya. Komunikasi-Nya dengan Bapa membuat Ia dapat senantiasa fokus pada tugas Bapa yang harus Ia laksanakan dan selesaikan.
Dalam mengajar sebagai guru Yesus menggunakan beberapa metode yaitu (1) menggunakan perumpamaan (2) menggunakan dialog-dialog dan tanya jawab yang memungkinkan terjadinya interaksi secara langsung; Yesus dapat memperkenankan diri-Nya dan karya-Nya; dapat mengetahui sejauh mana pengertian para pendengar-Nya (3) banyak menggunakan simbol atau metafor dalam menyampaikan kebenaran rohani menyangkut identitas dan karya misi-Nya sebagai Mesias, Anak Allah (4) Ia menggunakan wacana (discourse). Isi wacana Yesus baik berkaitan dengan penyataan diri-Nya tentang Bapa, identitas dan karya misi-Nya menyangkut keselamatan dan hidup kekal bagi orangorang yang percaya, kedatangan Roh Kudus, dan misi Yesus melalui murid-murid yang akan datang.
6. Penutup
Pada suatu hari Kamis Mulla Nasrudin berpakaian lengkap. Ia mengenakan topi, sorban, baju koko, dan kain sarung. Ia menunggang seekor keledai. Semua orang keluar dari rumah menyaksikan Nasrudin yang berpakaian lengkap menunggang keledai. Yang menggemparkan warga adaalah: nasrudin menunggang keledai dengan posisi muka ke kebelakang. Mengapa tuan menunggang keledai dengan wajah ke belakang? Tanya seorang yang berpasan dengan Nasrudin. Ya supaya saya bias melihat apa yang telah saya lalui. Apakah tuan ke tempat pesta? Apakah nanti tuan tidak tersesat? Tidak, keledai ini sudah tahu jalan dan kemana saya diantarnya? Apakah tuan hendak menghadiri pesta? Tidak, saya mau pergi Sholat Jumad di masjid, jawab Nasrudin. Apakah tuan lupa bahwa hari ini baru hari Kamis? Saya ingat hari ini hari Kamis, jawab Nasrudin. Lalu mengapa tuan berangkat hari Kamis? Apakah Anda tidak pernah berpikir bahwa keledaiku berjalan pelan. Syukur-syukur kalau hari Jumad saya tiba di Mesjid, jawab Nasrudin mengakhiri dialog itu.
Kita memperingati hari kematian pendiri berarti kita dipaksa untuk mengambil posisi ke belakang sambil berjalan ke depan untuk melihat kembali semua yang pernah dikatakan dan semua yang pernah dilakukan pendiri dan pendahulu kita. Identitas kita sudah jelas sebagai Frater, Biarawan, dan Guru dan setiap kita ingin member makna pada semua identitas itu. Yang diperlukan adalah rencana dan target kita. Kita tentu ingin menjadi keledai yang membawa Yesus sampai ke Yerusalem atau keledai yang membawa Nasrudin ke Masjid. Semoga harapan dan kerinduan Bapa Pendiri terus berbuah dalam karya para Frater. Sekian dan terima kasih. Tuhan memberkati!
Tim Spiritualitas