Peristiwa Natal adalah peristiwa Inkarnasi Allah menjadi manusia dalam pribadi manusia Yesus Kristus. Dan melalui pribadi Yesus Kristus inilah Allah mewariskan misi keselamatan-Nya atas umat manusia. Kalau kita sejenak kembali melihat sejarah Perjanjian Lama secara khusus kisah penciptaan dalam kitab Kejadian, pada saat Allah menciptakan manusia pertama, kemudian, menempatkan mereka di dalam taman Eden, kita melihat bahwa manusia hidup dalam segala kelimpahan di dalamnya. Sejak saat itu, Allah menghendaki agar manusia memeroleh hidup dan keselamatan di dalam misteri hidup-Nya. Namun, apa yang terjadi, ternyata manusia mengkhianati kehendak Allah, penyelenggaraan-Nya, dan Cinta Allah sehingga pada akhirnya manusia harus memisahkan dirinya dengan Allah karena dosa kesombongan itu. Manusia keluar dari taman Eden, taman surgawi, taman kehidupan, dan taman berkelimpahan itu.
Pada saat manusia jatuh ke dalam dosa dan keluar dari taman Eden, manusia kehilangan Rahmat dan Cinta Allah. Akibatnya manusia hidup dalam ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan karena hatinya masih dikuasai oleh rasa bersalah akibat dosa dan keangkuhannya. Dalam konteks ini manusia menjadi budak dosa, atau dikuasai oleh dosa. Meskipun manusia berkali-kali mengkhianati kehendak dan Cinta Allah, tetapi Allah justru tetap setia menerima, merangkul, mengayomi, dan bahkan mengarahkan mereka pada tujuan satu-satunya hidup mereka yakni keselamatan yang membawa mereka kepada kebahagiaan. Orang yang merasa hidupnya bahagia, tetapi belum memperoleh keselamatan maka kebahagiaannya adalah kebahagiaan sementara. Dan sebaliknya, orang yang telah ditebus dan menerima keselamatan hidupnya akan bahagia abadi. Inilah gambaran Cinta Sejati, Cinta Bapa terhadap anak-Nya, Cinta yang mengampuni tanpa syarat. Inilah spritualitas pembebasan.
Dalam konteks ini, kalau kita merenungkan secara lebih mendalam dalam kaitannya dengan judul tulisan ini, maka kita akan menemukan benang merahnya. Kelahiran Yesus Kristus, Sang Raja Damai ke dunia pertama-tama bukan kepada orang-orang saleh, benar, hebat, pintar, dan orang-orang kaya yang hidup dalam segala kelimpahan dan kemewahan hidup. Sang Juruselamat itu justru datang membawa damai bagi mereka yang bodoh, buta, bisu, tuli, lumpuh, miskin, sakit, dan menderita serta membawa pembebasan bagi yang berdosa, yang lemah dan yang tertindas.
Di tengah wabah korupsi, kekerasan, dan eksploitasi ekonomi yang terjadi di negerinya, Uskup Romero tidak mengabaikan kenyataan seperti itu, melainkan menantangnya. Seperti halnya Yesus yang berada di tengah situasi yang korup, penuh kekerasan, dan eksploitasi ekonomi (Mat. 20:25;21:12-17) Yesus justru menentangnya secara langsung. Tujuannya tidak lain adalah untuk membela orang-orang kecil dan lemah. Mengembalikan apa yang menjadi hak mereka, mengangkat harkat dan martabat orang-orang kecil dan lemah dengan sentuhan kasih dan kebaikan yang terpancar dari hati-Nya. Inilah peristiwa inkarnasi, Allah menjadi manusia. KASIH yang menjadi identitas Allah yang sejati diwujudkan dalam dunia kehiduapan kita agar semua menjadi bahagia.
Suatu refleksi alamiah yang terpancar dari fenomena alam yang menjadi buku kehidupan manusia adalah peristiwa Natal yang selalu membawa sebuah revolusi bagi alam secara keseluruhan. Peralihan musim panas ke musim hujan, musim gugur ke musim semi, menggambarkan suatu pembaruan. Singkatnya, kelahiran Yesus Kristus membawa rahmat pembebasan bagi alam semesta. Kedatangan-Nya mencurahkan hujan bagi bumi untuk memberikan kesuburan bagi tanah, menumbuhkan benih yang ditabur serta membersihkan aliran-aliran sungai yang keruh dan kotor. Natal Yesus Kristus adalah peristiwa pembebasan dan pemurnian alam secara keseluruhan.
Jadi, kelahiran Sang Raja Damai dalam peristiwa Natal mau mengungkapkan bahwa keselamatan itu tidak hanya terjadi pada manusia saja melainkan seluruh ciptaan termasuk alam. Dalam konteks ini, alam pun perlu diselamatkan. Karena alam mempunyai peranan penting dan bertanggung jawab dalam hidup manusia. Alam adalah “gereja” bagi banyak orang. Hal ini terungkap dalam kisah penciptaan pada saat Allah menciptakan manusia, Allah tidak menempatkan manusia di dalam sebuah bangunan rumah (arsitektur) karya seorang arsitek, melainkan justru Allah menempatkan manusia di dalam alam (taman Eden) hasil karya tangan-Nya sendiri. Itulah sebabnya Yesus dalam peristiwa jalan salib-Nya, Ia berjuang memikul kayu salib yang dibuat dari pohon bukan besi atau baja hasil buatan tangan manusia. Yesus bahkan wafat di atasnya, dan Ia sendiri pun pada akhirnya menjadi pohon kehidupan yang tumbuh di bukit Golgota. Salib adalah tanda pemulihan relasi manusia dengan alam, sesamanya, dan Allah sendiri. Ini sebagai bukti bahwa Kristus mau memulihkan kembali relasi manusia dengan alam. Suatu ajakan untuk kembali kepada alam, kepada taman Eden, tempat segala yang hidup bertumbuh.
Fr. M. Blasedus Nahak, BHK