Rumah Induk Artistik Bernilai Sejarah
Jalan Jaksa Agung Suprapto Malang merupakan jalan utama yang menjadi bagian dari sejarah perkembangan Kota Malang. Pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda, jalan ini lebih dikenal dengan nama Tjelaket. Sejak dulu pula kawasan Tjelaket menjadi jalan strategis yang menghubungkan Malang dengan Surabaya. Di salah satu sisi jalan itu, sebuah gedung besar bergaya kolonial berdiri kokoh lebih dari 90 tahun. Namanya Frateran Bunda Hati Kudus. Gedung itu adalah Rumah Induk Kongregasi Frater-frater Bunda Hati Kudus (BHK) di Indonesia. Bangunan bersejarah itu terletak di Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 21, Kelurahan Samaan, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi gedung ini berada di depan RSUD Dr. Saiful Anwar atau sebelah utara Polresta Malang.
Gedung tertua milik Kongregasi Frater-frater BHK yang saat ini lebih dikenal dengan Frateran Celaket 21 ini merupakan biara pertama yang dirintis oleh para frater misionaris dari Belanda. Didirikan mulai awal tahun 1929 dan selesai pada Oktober 1929. Tuan Smith menjadi arsitektur pembangunan dan frater Chrisostomus van Zijl, juga seorang arsitektur datang khusus dari Belanda untuk mengawasi pembangunan. Dalam tempo sekitar 10 bulan, berdirilah sebuah gedung megah bergaya Eropa yang merupakan gedung Frateran Utrecht Herenstraat No. 6 mini di Kota Malang. Mgr. Clemens van der Pass (Perfek Apostolik pertama Malang) mempersembahkan kurban Misa Syukur pemberkatan gedung baru dan dihadiri oleh Residen dan para pemuka Kota Malang.
Setelah urusan pembangunan gedung baru tuntas, biara pertama yang sebelumnya untuk sementara berada di Frateran St. Redemptus, Jalan Bromo 22 Malang dipindahkan ke Frateran Celaket 21. Bersama kedua frater misionari awal, fr. Gregorius Goedhart dan fr. Wilfridus Welling, sejumlah frater Belanda yang menempati biara baru itu adalah fr. Augustinus Blommesath, fr. Basilius Egbert, fr. Englmundus Appeldoorn, fr. Serafinus Ruiter, dan fr. Fidelis Mous. Pemimpin komunitasnya mula-mula oleh fr. Gregorius Goedhart. Kemudian dia kembali ke Belanda dan tugas overste selanjutnya diserahkan kepada fr. Augustinus Blommesath. Mereka menyelenggarakan dua sekolah menyerupai sekolah-sekolah di Belanda, yaitu Europese Lagere School (ELS), Sekolah Dasar berbahasa Belanda khusus untuk anak-anak Belanda dan Lagere School (LS), Sekolah Dasar berbahasa Belanda untuk anak-anak Indonesia, Cina, Arab, dll.
Pada tahun 1942, semua orang Belanda diangkut ke Cimahi, Jawa Barat dan dipenjara oleh penguasa militer Jepang dalam PD II. Kompleks Frateran Celaket 21 yang ditinggalkan kosong diduduki oleh tentara Jepang. Pada tahun 1946 Jepang kalah dalam PD II, diusir oleh tentara Sekutu. Namun, gedung Celaket 21 diduduki oleh Tentara Pelajar Republik Indonesia (TRIP). Atas pengertian dan kerja sama yang baik antara komandan TRIP dengan frater-frater Indonesia, yaitu fr. Rumoldus, fr. Adolfus, dan fr. Achilles, gedung Frateran Celaket 21 diserahkan kembali kepada Kongregasi. Pada tahun 1947, gedung yang rusak ringan akibat PD II ini dapat direhabilitasi kembali seperti semula.
Hingga kini, gedung ini merupakan bangunan unik dan bernilai artistik. Karena itu, gedung yang sangat khas dengan bata bercat merah bergaris putih ini bukan saja menjadi kekayaan Kongregasi, tetapi juga menjadi milik masyarakat. Gedung biara yang dipersembahkan kepada perlindungan Bunda Hati Kudus ini termasuk dalam kategori Bangunan Cagar Budaya di Kota Malang yang dilindungi pemerintah.
Selain menjadi rumah kediaman bagi para frater di lantai dua dan sisi utara, gedung ini juga digunakan untuk menyelenggarakan dua lembaga pendidikan formal. Kedua sekolah tersebut adalah SMPK Frateran Celaket 21 Malang di sisi selatan gedung dan SDK Mardi Wiyata 1 Malang di bagian belakangnya.
Fr. M. Walterus Raja Oja, BHK – Dihimpun dari beberapa sumber.