Pengantar
“Apakah pendidik kita sungguh mengabdi?” Demikian sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan yang mengelitik kesadaran kita sebagai insan pendidik dewasa ini. Diskusi pedagogik bersama seorang guru senior dalam lembaga pendidikan Mardi Wiyata seakan mengugah hakikat terdalam kehadiran seorang pendidik sebagai figur yang patut diguguh, ditiru, dan diteladani oleh peserta didik. Pergeseran generasi dan perkembangan dalam dinamika dunia pendidikan telah mempertajam nilai pengabdian seorang pendidik serta motivasi pengabdian itu sendiri, padahal pengabdian sebagai sebuah nilai seharusnya selalu diperjuangkan dan dihidupi sebagai motor penggerak dalam dunia pendidikan. Tokoh pendidik senior ini berkisah bahwa nilai pengabdian bagi seorang pendidik pada zamannya adalah nilai utama yang harus dimiliki dan dijiwai oleh seseorang yang ingin menjadi seorang pendidik. Pengabdian membutuhkan totalitas, memberikan diri tanpa perhitungan apapun. Ia menuturkan bahwa kualitas guru adalah bagaimana guru mengabdi dan pada saat yang sama mencintai profesinya, sebab jika seorang guru mencintai profesinya, maka ia akan mengerahkan seluruh perhatiaannya demi pertumbuhan dan perkembangan pesertadidik.
Profesi guru adalah sebuah pilihan untuk memberikan diri kepada orang lain sehingga tidak banyak orang pada saat itu ingin menjadi guru. Guru tidak hidup dalam kemewahan, hidup dalam kesederhanaan tapi mereka tetap bertahan dalam tugas dan tanggung jawab dalam mencerdaskan anak-anak bangsa, suatu tugas mulia yang memberikan kepuasan tersendiri tanpa diukur dengan materi. Guru menjadi panutan, tokoh teladan dalam masyarakat sehingga disegani dan bahkan menjadi tempat dimana warga masyarakat meminta nasihat dan tuntunan. Mereka mendedikasikan diri sepenuhnya tanpa perhitungan dan dalam kesederhanaan fasilitas, mereka bertahan demi sebuah panggilan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka laksana obor di tengah kegelapan dan embun penyegar di tengah kegersangan. Mereka laskana pahlawan tanpa tanda jasa.
Ia berhenti sejenak, menarik nafas dan bertutur : semua tinggal kenangan. Dunia pendidikan dewasa ini kehilangan rohnya, regulasi-regulasi bermunculan dari tahun ke tahun demi peningkatan mutu pendidikan, namun kualitas lulusan dari lembaga pendidikan formal kita seakan belum mampu menjawabi kebutuhan zaman terutama dalam dimensi kepribadian atau akhlak. Inilah panggilan seorang guru untuk menanamkan nilai hidup kepada peserta didik jadi tidak meluluh pengetahuan akademis semata. Paulo Freire dalam Paedagogy of Oppressed(2006) menegaskan bahwa lembaga pendidikan manapun adalah sekolah kehidupan bukan sebuah institusi yang memenjarakan atau mengerdilkan perkembangan anak dengan regulasi dan aturan yang serba ketat. Metodologi banking tidak banyak membantu siswa untuk berkembang secara holistik. Menurutnya, hakikat sekolah adalah sebuah lembaga yang membebaskan dan tidak membelenggukan dengan bersumber pada nilai-nilai baik yang dibangun dalam keluarga sebagai dasar penanaman nilai-nilai kehidupan. Karenanya, peran seorang guru sebagai panutan nilai kehidupan menjadi fondasi dan pilar utama dalam keberhasilan pendidikan. Ia harus menyerahkan diri sepenuhnya dalam profesi sebagai pendidik, suatu totalitas.
Profesionalisme sebagai Sebuah Panggilan
Fenomena zaman modern ditandai dengan adanya tuntutan spesialisasi dalam berbagai bidang kehidupan yang kemudian dinamai tuntutan profesionalisme. Profesi guru sebagai sebuah layanan publik tidak luput dari tuntutan profesionalisme ini yang menjadi kata kunci sekaligus jawaban yang pas menghadapi reformasi pendidikan dengan segala perkembangan dan tuntutan yang menyertainya. Reformasi pendidikan mengarah sepenuhnya pada tuntutan profesionalisme seorang pendidik karena mereka adalah ujung tombak sekaligus jantung dari pendidikan itu sendiri. Kemegahan bangunan dan fasilitas apapun tanpa didukung oleh profesionalisme tenaga pendidik yang siap mengabdi secara total akan mubasir hasilnya. Dalam konteks kita, Sindhunata (2001) menegaskan bahwa pendidikan masih tetap sebuah beban berat, bahkan sudah distigmata sebagai “kegelisahan sepanjang zaman” karena pendidikan adalah long life proses.
Kegelisahan dalam dunia pendidikan kita saat ini hanya dapat dijembatani oleh kehadiran tenaga pendidik yang sungguh menghargai tugasnya sebagai suatu panggilan hidup. Gultom (2012) dalam “panggilan dan profesi” mendefenisikan panggilan sebagai suatu ajakan atau undangan untuk melakukan suatu pekerjaan baik dengan sepenuh hati. Ini berarti panggilan menjadi pendidik adalah ajakan atau undangan untuk memberikan layanan yang baik, optimal dan bermutu kepada peserta didik dengan sepenuh hati. Layanan pendidikan sekolah dan upaya-upaya pembaharuannya baru akan mencapai hasil yang diharapkannya apabila isi, program, dan pendekatannya telah benar-benar dipahami oleh pendidik, benar-benar telah dirangkul oleh pendidik, dan pendekatan pengajarannya telah dapat dilaksanakan serta jasa pendidik dalam kiat inovasi pendidikan sangat menentukan (Norman M. Goble, 1993). Inilah sikap profesionalisme seorang pendidik sejati sebagai sebuah panggilan sehingga menjadi pendidik tidak pertama-tama adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan ijazah dan penghargaan atas kelayakan ijazah tersebut tetapi soal hati. Profesi pendidik membutuhkan relasi hati. Jika demikian maka dunia pendidikan kita adalah dunia yang menyenangkan bagi semua komponen pendidikan. Suatu idealisme yang patut dikejar oleh insan-insan pendidikan dewasa ini di tengah regulasi, aturan perundangan dan kebijakan pemerintah yang kian berat. Ketika kita mampu mempertahankan identitas sebagai sekolah yang berbasis agama maka kita boleh berbangga diri karena mampu menyelaraskan kebijakan pemerintah kedalam kekhasan lembaga pendidikan ini.
Harapan akan kiprah guru yang profesional pada bidangnya untuk meningkatkan mutu pendidikan merupakan kerinduan seluruh generasi penerus bangsa. Menurut UU RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan profesionalisme sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam menjalankan tugas sehari-hari. Kemampuan profesional guru adalah kemampuan dalam melaksanakan tugas, yang dibekali dengan kompetensi (kemampuan dasar). Dua tuntutan dari lima kemampuan dasar yang diwajibkan oleh Derektorat Pendidikan Dasar (1994) bagi seorang pendidik perlu dikedepankan karena berhubungan erat dengan nilai dedikasi atau pengabdian total yaitu disiplin dalam arti luas dan komitmen terhadap tugas disamping penguasaan kurikulum, materi pembelajaran dan evaluasi. Pencapaian performance kerja sangat ditentukan oleh aspek disiplin dan komitmen. Bisa dibayangkan generasi masa depan model manakah yang akan dibentuk jika seorang pendidik tidak disiplin dan kurang berkomitmen dalam tugasnya.
Pendidikan kita saat ini membutuhkan tenaga pendidik profesional yang menghargai tugasnya sebagai suatu panggilan hidup. Strategi layanan pendidikan yang dibangun hendaknya bersumber pada pendekatan humanis yang menghargai seseorang sebagai subjek dan bukan objek dalam pendidikan. Paradigma menjadikan peserta didik sebagai objek dalam dinamika pendidikan dewasa ini dirasa kurang tepat. Seorang pendidik hadir sebagai salah satu nara sumber (tempat bertanya serta berkonsultasi bagi siswa), ia berperan dalam memotivasi semanngat belajar siswa, mengorganisir isi serta kegiatan belajar siswa, menciptakan situasi belajar yang menyenangkan, memfasilitasi proses belajar dalam upaya pencapaian hasil belajar siswa demi kepentingan bimbingan belajar, dan berperan sebagai evaluator proses serta hasil belajar siswa demi kepentingan bimbingan belajar siswa. Sejalan dengan pemikiran di atas, terjadilah pergeseran proses pengalihan pengetahuan, yang semula berpusat pada diri guru (sebagai informator) kepada aktivitas dan kreativitas siswa untuk mendayagunakan sumber belajar secara sistematis, kontinu, dan optimal (Norman M. Goble, 1983). Inilah letak keindahan pendekatan humanis dimana setiap peserta didik dihargai sebagai seorang individu yang punya kemampuan untuk mengembangkan diri.
Profesionalisme sebagai tindakan yang dilakukan berdasarkan keahlian, kemahiran atau kecakapan berdasarkan standar dan norma tertentu hendaknya dilihat sebagai kesempatan untuk mengabdi artinya seorang pendidik memberikan seluruh kemampuan diri, keahlian yang ia miliki demi kebaikan peserta didik. Dialog pedagogis diatas memberikan inspirasi bahwa para pendidik yang dalam kesederhanaan fasilitas dan hidup dalam ketidakcukupan secara material tetap menjunjung tinggi semangat pengabdian. Keahlian, kemahiran, serta kecakapan seorang pendidik tidak menjamin bahwa ia akan akan menjadi pribadi pengabdi dalam profesinya.
Asmani Jamal (2012) menggarisbawahi pribadi pendidik yang siap mengabdi, yaitu : (a) pendidik yang benar memahami profesinya dimana ia memberi dengan tulus dan tanpa mengharapkan imbalan apapun, ia mendidik dengan hatinya. Wajahnya selalu ceria, senang, dan menerapkan 5S (salam, sapa, sopan, senyum dan sabar) dalam kesehariaannya; (b) pendidik yang selalu melakukan intropeksi diri dan memperbaiki diri. Ia senantiasa bertanya pada diri sendiri, apakah saya sudah menjadi guru yang baik? Apakah saya sudah mendidik dengan benar?. Jadi selalu ada ruang untuk belajar dari pengalaman dan tidak mempertahankan status quo sebab inovasi dalam dunia pendidikan selalu berkembang dengan cepatnya; (c) pendidik yang terbuka terhadap pengetahuan baru, ia harus kreatif dan inovatif dalam pengembangan pembelajarannya. Ia membuat sendiri rencana pembelajaran sesuai dengan pemetaan kemampuan peserta didik dalam kelasnya dan bukan hanya copy and paste dari yang dibuat pemerintah tanpa penyesuaian; (d) pendidik yang mampu berinteraksi dengan peserta didik sebagai subjek-subjek serta menyediakan waktu mendengarkan keluh kesah peserta didik. Ia bukan hakim tapi seorang hamba pengabdi yang selalu siap mendengarkan peserta didiknya; (e) pendidik yang memiliki kecerdasan intelektual, sosial, moral, emosional dan motorik. Kecerdasan-kecerdasan ini akan membantu seorang pendidik untuk tampil sebagai pribadi yang self disciple karena peserta didik akan belajar dari pendidiknya.
Sebagai sebuah jabatan profesional, guru dituntut untuk memiliki kode etik, seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Nasional Pendidikan I tahun 1988, bahwa profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu, norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu organisasai sangat penting dan mendasar, sebab kode etik ini merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya. Norma-norma dan kode etik ini menjadi pedoman dasar bagi seorang pendidik dalam menjalankan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya dalam membentuk generasi masa depan bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Norma dan kode etik ini hanya dapat dihayati oleh seorang pendidik jika ia memiliki hati untuk memberi diri sepenuhnya bagi masa depan anak-anak bangsa. Jika tidak maka ia hanya menjalankan tugas mengajar sebagai sebuah pekerjaan rutin, memindahkan ilmu kepada peserta didik, memberikan nilai atas usaha peserta didik dan purna sudah tugasnya. Begitu sederhanannya padahal sekolah pada dasarnya adalah miniatur masyarakat dimana peserta didik berinteraksi dan belajar nilai-nilai kehidupan didalamnya. Inilah tujuan intrisik sekolah sebagai sebuah lembaga penanaman nilai-nilai kehidupan. Peserta didik tidak hanya memperoleh pengetahuan semata, tapi belajar nilai kehidupan di sekolah.
Profesionalisme pendidik (guru)sebagai sebuah panggilan adalah suatu ajakan atau undangan kepada seorang guru agar menjalankan tugasnya secara profesional, yaitu memiliki keahlian, kemahiran dan kecakapan dalam mendidik. Sebagai sebuah panggilan, para pendidik dituntut untuk menjadi lokomotif utama bagi perubahan karakter, keunggulan SDM, dan modernisasi bangsa. Peradaban masa depan bangsa terletak sepenuhnya pada sentuhan tangan dingin para pendidik disamping dukungan komponen pendidikan lainnya dalam menyukseskan ketercapaian tujuan pendidikan ini. Profesi sebagai guru menjadi benar-benar mulia dan bermartabat. Kelahiran Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang semula diharapkan menjadi landasan dan tonggak penting dalam peningkatan idealisme dan peningkatan mutu, kesejahteraan serta martabat guru, sudah selayaknya diimplementasikan secara nyata. Memang tepat untuk mendengungkan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tapi jasa-jasa guru hendaknya betul-betul diperhatikan dan dihargai secara layak dan manusiawi. Suatu dialektika yang tidak akan purnah antara totalitas dalam pengabdian di satu sisi dan kesejateraan guru di sisi lain. Pemerintah telah menjembatani kesenjangan ini dengan memberikan perhatian khusus untuk kesejateraan guru sehingga para pendidik/guru sungguh total mengabdi tanpa harus terpecah perhatiannya untuk mencari penghasilan tambahan di luar profesinya.
Profesionalisme sebagai Sebuah Warisan
Profesionalisme pendidik (guru) sejak awal berdirinya Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus telah diamanatkan secara jelas oleh sang pendiri, Mgr. Andreas Ignatius Schaepman. Sebagai seorang gembala, Ia prihatin dengan situasi pendidikan kaum muda, lalu tergerak untuk mendirikan sebuah lembaga hidup bakti yang secara khusus memberikan seluruh perhatiannya dan totalitas penuh pengabdian terhadap pendidikan kaum muda. Dalam amanatnya, ia berpesan: “Saya memerlukan guru-guru yang berkeyakinan mendalam mengenai pentingnya pendidikan kaum muda. Saya memerlukan guru-guru yang unggul, rajin, yang sanggup membentuk akhlak yang beragama. Guru-guru yang mampu membimbing murid-murid itu agar mencapai kebahagiaan sementara dan abadi, sehingga hati dan budi mereka diresapi oleh sikap iman, harapan dan cinta kasih. Saya memerlukan biarawan-biarawan, guru yang rajin dan unggul dalam hal kebajikan dan kecakapan, yang dijiwai oleh suatu itikat murni, dan dipenuhi cinta kasih” (DPI, 2014). Rangkai warisan pendiri yang menginsprasi para pengikut Schaepman dari generasi ke generasi.
Profesionalisme pendidik (guru) sebagai sebuah panggilan sudah sejak awal ditekankan oleh pendiri. Sebagai seorang gembala umat, ia menanamkan semangat penyerahan diri dalam pengabdian secara total kepada pendidikan kaum muda. Menjadi seorang guru baginya adalah sebuah panggilan, suatu ajakan untuk menjalankan pelayanan secara profesional, yaitu memiliki keahlian, kemahiran, dan kecakapan dalam mendidik. Inilah warisan yang selalu harus dihidupi, dihayati, ditumbuh-kembangkan sebagai nilai-nilai hidup, tradisi yang selalu dibudayakan dan dilestarikan. Kompetensi-kompetensi yang diharapkan pendiri dari seorang guru (frater dan mitra kerja para frater), yaitu :
(a) guru-guru yang berkeyakinan mendalam akan pentingnya pendidikan kaum muda. Seorang pendidik harus percaya dengan sungguh-sungguh akan tugas dan tanggung jawab yang diembannya dalam membentuk manusia masa depan yaitu, kaum muda dengan segala dinamika pergumulan mereka. Ia harus tahu dan mengerti dengan sungguh akan apa dan bagaimana mendidik kaum muda menuju kebahagiaan. Keyakinan ini menjadi dasar pijakan dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu bagi peserta didik, sebab jika seseorang tahu dan mengerti akan apa yang ia lakukan maka ia akan melaksanakannya dengan sadar dan penuh kegembiraan.
(b) guru-guru yang unggul dan rajin yang mampu membentuk akhlak peserta didik. Pendiri mengharapkan frater dan para guru yang mendidik kaum muda adalah pribadi yang unggul dalam seluruh dimensi kehidupan (intelektual, sosial, kepribadian, pedagogik dan spiritual). Kompetensi dasar ini sebenarnya sudah dihidupi dalam lembaga pendidikan asuhan para frater sejak awal berdirinya dengan kekhasan pada dimensi spiritual yang menjadi ciri khusus sekolah berbasis agama. Ia menambahkan satu dimensi manusiawi yang dituntut dari seorang pendidik yaitu, sikap rajin sebab walaupun seorang pendidik memiliki semua kompetensi yang diminta, namun tidak memiliki semangat untuk bekerja, semangat untuk berbagi dan mengabdi, maka sia-sialah semua keahlian, kemahiran, dan kecakapannya.
(c) guru-guru yang mampu membimbing peserta didik menuju kebahagiaan, sehingga hati dan budi mereka diresapi dengan iman, harap dan cinta kasih. Sejak awal berdirinya, pendiri telah menggarisbawahi tanggung jawab moril seorang pendidik dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan bagi peserta didik. Oleh karenanya, seorang pendidik harus pertama-tama menghidupi nilai-nilai moral kehidupan ini sehingga mudah baginya untuk membagikan kepada peserta didik. Tujuan akhir dari setiap proses pendidikan menurut pendiri adalah kebahagiaan, karenanya lembaga pendidikan kita hendaknya menjadi tempat yang menyenangkan, sehingga peserta didik bisa merasakan suasana persaudaraan dan kasih, suatu idealisme yang patut dikejar bersama. Pendidikan dalam perspektif pendiri hendaknya menyentuh hati dan budi peserta didik, sehingga ada keseimbangan antara dimensi pengetahuan dan afektif-motorik. Ketika dunia pendidikan dewasa ini menekankan pada pendidikan karakter sebenarnya kita telah memulainya sejak dahulu dimana peserta didik diarahkan untuk menghayati nilai iman, harapan dan cinta kasih;
(d) guru-guru yang unggul dalam kebajikan dan kecakapan, dijiwai oleh itikad murni dan dipenuhi oleh cinta kasih. Pendiri mengajak pengikutnya untuk memurnikan motivasi dalam pelayanan, bahwa semua layanan pendidikan kepada kaum muda harus dilandaskan pada suatu itikad murni untuk kebaikan mereka. Ini untuk menghindari motivasi tidak murni dalam mendampingi kaum muda. Sejak awal motivasi seorang pendidik yang unggul menurut pendiri harus dilandasi pada motivasi pengabdian atas dasar cinta kasih. Ketika dunia dewasa ini mengejar keuntungan materi dalam dunia pendidikan, insan Schaepman diingatkan untuk menghayati semangat pengabdian diatas segalanya. Pemberian jasa atas pengabdian seorang pendidik patut dihargai secara layak tapi tidak lalu menjadi yang utama.
Profesionalisme sebagai sebuah warisan Schaepman merupakan tradisi hidup yang patut diteruskan dari generasi ke generasi sehingga jiwa dan rohnya selalu lestari di hati semua pendidik. Jiwa dan roh seorang Schaepman ini perlu diterjemahkan dalam konteks kita saat ini tanpa kehilangan identitas dasarnya. Panggilan pengabdian sebagai pendidik yang unggul, rajin, berkeyakinan dan beritikad murni untuk mendidik kaum muda hendaknya selalu meresapi insan-insan pendidik saat ini.
Kesimpulan
Sebuah dialog pedagogis dengan seorang pendidik senior telah menyentak kesadaran kita para pendidik untuk menempatkan semangat pengabdian sebagai daya gerak dalam layanan pendidikan kepada peserta didik dan masyarakat. Pendidik sebagai figur publik yang memiliki tanggung jawab yang maha besar terhadap peradaban bangsa di masa depan dituntut memiliki kompetensi tertentu agar kinerja pelayanan mereka sungguh berkualitas dan optimal. Di samping itu, seorang pendidik diajak untuk menjalani profesinya sebagai sebuah panggilan sehingga ia sungguh berkomitmen dalam tugasnya tanpa perhitungan apapun, tapi semua demi kebaikan peserta didik. Ia memberikan diri secara profesional demi perkembangan anak-anak bangsa.
Profesionalisme sebagai sebuah panggilan telah digariskan secara jelas oleh Mgr. Schaepman dalam zamannya. Ia mengharapkan para guru yang berkeyakinan bahwa pendidikan kaum muda adalah penting, guru yang unggul dan rajin, guru yang mampu menyentuh hati dan budi peserta didik demi kebahagiaan dan guru yang beritikad murni dalam pendidikan kaum muda atas dasar cinta kasih. Ketika pemerintah dalam kebijakan barunya tentang kompetensi seorang guru dan pendidikan karakter saat ini, sebenarnya kita insan pendidik Schaepman telah menghidupinya sejak dahulu. Kita patut menyelaraskan kebijakan ini dengan kekhasan pendidikan kita yang berbasis agama, agar nilai-nilai luhur warisan Schaepman tidak pudar ditelan kebijakan pemerintah saat ini.
Daftar Pustaka
Asmani.M. Jamal. (2012). Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif dan Inovatif. Jogyakarta : Diva Press
DPI. (2014). Inspirasi Mgr. A. I. Schaepman. Malang : Dioma
Goble.M. Norman.(1983). Perubahan Peran Guru. Jakarta : PT. Gunung Agung
Sindhunata. (2001). Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman. Jakarta : Artikel Basis
Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS