Pada suatu kesempatan ada seorang anggota grup whatsapp (WA) mengirim pesan. Dalam pesan itu dia menulis supaya hati-hati dengan sebuah grup WA, lalu dia menulis nama grup yang dimaksudkan itu. Dia menjelaskan bahwa grup itu milik sebuah jaringan kelompok radikal. Jangan diterima apabila ada undangan menjadi anggota grup tersebut. Katanya lagi, jika seseorang sudah menjadi anggota dalam grup itu, tidak bisa keluar lagi. Artinya orang tersebut sudah terjaring menjadi bagian dari kumpulan orang-orang garis keras itu.
Pesan yang diterimanya, kemudian diteruskan ke grup WA itu menarik perhatian saya. Bukan karena takut pada nama kelompok radikal yang tertulis di situ, tetapi himbauannya di akhir pesan. Dia katakan bahwa segera diteruskan ke anggota keluarga dan orang-orang terdekat. Saya langsung menanggapi bahwa ini hoaks, jangan diterukan agar keresahan yang mungkin dirasakan pengirim pesan tidak menyebarkan ke semakin banyak orang yang tidak tahu. Logika saya cukup sederhana. Penggunaan aplikasi whatsapp didaftar dengan menggunakan nomor pribadi. Seorang pengguna bisa mengaturnya sendiri, apakah dia ikut bergabung dengan sebuah grup WA atau tidak. Bagaimana mungkin dia bisa bergabung dengan satu grup tertentu, lalu tidak bisa keluar lagi. Padahal kendali aplikasi itu ada di tangannya sendiri. Ini tidak masuk di akal saya. Makanya dengan tegas saya menanggapi bahwa pesan itu adalah kabar bohong. Tidak perlu diteruskan.
Di lain kesempatan dalam grup yang sama, beberapa anggota terlibat dalam satu diskusi yang hangat. Topik yang dibahas hari itu mengenai stigma tentang pendidikan di NTT yang dinilai menggunakan kekerasan. Berbagai argumen dan silang pendapat disampaikan untuk mencapai titik mufakat terutama mengenai maksud dan apa yang diharapkan oleh si penggagas diskusi.
Dua contoh di atas hanya sebagian kecil dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan di media berbasis internet itu. Masih banyak hal lain yang setiap hari ditayangkan di layar ponsel. Ada anggota grup yang mengirim gambar dan video inspiratif, foto-foto dan berita kegiatan, informasi dan himbauan, sharing gagasan, ucapan selamat bagi yang berulang tahun, dan sebagainya. Semua hal itu menggembirakan. Artinya grup WA mempermudah kita untuk berkomunikasi. Sebuah informasi dengan cepat diterima dan dibaca oleh sekian banyak orang dalam sekali klik. Kepada seluruh anggota grup yang aktif dan terkoneksi internet, pesan-pesan yang dimuat diakses dengan mudah, efektif, dan efisien.
Jika dianalogikan secara sederhana, menurut saya, grup WA adalah sebuah kamar makan besar. Saya perlu membatasi konsep mengenai kamar makan dalam analogi ini. Kamar makan yang saya maksudkan di sini bukan hanya tempat kita menghabiskan makanan, tetapi lebih dari itu. Kamar makan adalah ruang khusus keluarga. Tempat seluruh anggota keluarga bercakap-cakap, membagi pengalaman dan kabar gembira, mendengar dan memperdengarkan aneka wejangan dan nasihat. Kamar makan adalah tempat di mana seluruh anggota keluarga menikmati momen me (our) time-nya bersama orang-orang tercinta. Itu berarti pertengkaran, percecokkan, dan beragam hoaks dan berita keresahan merupakan catatan prahara yang tidak ideal untuk dikisakan di kamar makan. Kamar makan perlu steril dari hal-hal yang mengganggu harmonisasi hidup rumah tangga.
Demikian pula seharusnya yang terjadi di “kamar makan besar” bernama grup WA. Di arena virtual itu semua hal baik yang mendukung kehidupan bersama kita seharusnya menjadi prioritas. Sebagaimana sebuah kamar makan yang ideal, grup WA perlu mengakomodir berbagai aktivitas yang menunjang kebaikan bersama seperti yang sudah diuraikan di atas. Grup whatsapp adalah “kamar makan besar”, tempat para anggotanya berbagi kabar kegembiraan, bukan berita kecemasan, apalagi kabar-kabar keresahan yang diteruskan begitu saja, tanpa kritis dan seleksi.
Fr. M. Walterus Raja Oja, BHK