Lilin beraroma magis, sebagai representasi peristiwa Paskah sesungguhnya adalah terang di tengah kegelapan. Kerap kali kita bergerak maju (bangkit) menuju Sang Terang, tetapi tersandung jatuh oleh kata “Terang Sang”. Dimensi kemanusiaan sering kali memegang kendali, daripada Allah dalam hidup kita dan cara berada kita di dalam persekutuan kita. Kebutuhan psikologis mewarnai kegelapan pikiran dan hati. Oleh karena kabut dosa yang mengganggu jarak pandang kita kepada Sang Terang akhirnya kita terperangkap dalam ziarah batin. Terungkap dalam selebrasi rutinitas dalam mengayuh tugas perutusan sebagai religius frater dalam tindakan dan kata-kata rasional. Kapitel sebagai momentum penuh gerakan Roh dengan dinamikanya sendiri patut disadari bahwa kita harus berani mengambil langkah strategis dengan struktur baru, bukan dengan wajah memelas.
Sejak dahulu kita belajar bagaimana “membanting stir” dalam setiap keadaan-keadaan buruk yang menimpa kita sebagai suatu persekutuan. Situasi seperti ini dialami bertahun-tahun untuk mengorek hikmah dan maknanya untuk bertahan hidup. Selama itu pula kita memahami bahwa setiap hal yang terjadi dalam hidup, baik maupun buruk, manis maupun pahit, ada makna mendasar secara tersirat dalam proses pembentukan kematangan diri anggota persekutuan.
Bertahun-tahun kita mampu berjalan dalam tempaan hidup beralaskan keyakinan “percaya akan penyelengaraan kasih Allah” bahwa setiap tarikan nafas dan coretan tiap lembaran perjalanan akan memberikan kepastian hikmah dan makna. Hal yang ditanamkan sangat sederhana dan biasa-biasa saja. Namun, luar biasa untuk kita, tentang bagaimana mengorek hal-hal positif di tengah permasalahan yang ada. Saat di mana kebanyakan orang berpikir tentang banyaknya kekurangan, keterbatasan dalam melakukan langkah maju, disitulah sesungguhnya kita dituntut untuk melihat sekecil-kecilnya potensi yang dimiliki alias Sumber Daya Manusia untuk melangkah maju. Kita tidak akan beranjak, bergerak ke mana-mana jika terus-menerus menangisi kekurangan kita, bahkan menyalahkan diri dan pemimpin kita. Ada ungkapan, daripada mengutuki kegelapan, lebih baik kita menyalakan lilin.
Lilin sebagai simbol pembaruan dinyalakan setiap kali mengawali proses sidang-sidang Kapitel Umum 2018. Nyalanya diyakini menerangi pikiran dan hati selama proses kapitel berlangsung. Ia meleleh, tetapi tetap tegak. Ia hadir sebagai sosok yang rapuh, tetapi kerapuhannya tidak pernah melukai sesama. Ia siap untuk dibakar tanpa nada protes. Bibirnya selalu panas dimakan api. Kesiapsediaannya menginspirasi kita untuk sejenak masuk dalam bilik batin. Duc in altum, bertolak ke tempat yang dalam. Sebab dari suatu kedalaman akan terkuak kejernihan kehendak untuk selalu berkata, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu.”
Kesiapan untuk berlangkah maju membutuhkan unsur-unsur mendasar, seperti: pemimpin, visi, misi, dan tujuan. Seorang pemimpin adalah inspirator perubahan dan tokoh visioner, yaitu memiliki visi dan misi yang jelas ke arah mana persekutuan religius kita. Sisi yang lain hendaknya memotivasi anggota persekutuan untuk bekerja keras dan kreatif untuk mendapatkan situasi dan kondisi yang lebih baik (semangat suka bekerja yang sehat). Duc in altum memberi isyarat untuk berpegang erat pada nilai-nilai spiritual yang diyakini benar dan secara turun-temurun diwariskan. Memiliki integritas kepribadian yang kuat sekaligus memancarkan energi, vitalitas serta kemauan yang membara untuk selalu dan senantiasa berdiri pada posisi yang segaris dengan Kharisma dan Spiritualitas Bapa pendiri kita dan para frater pionir. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah mau mendengarkan dengan penuh perhatian dan hati yang tak terbagi, masukan-masukan anggota dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan setiap anggota persekutuan.
Perubahan pola pikir duc in altum tentu tidak mudah, terlebih lagi ketika kita berada di komunitas dan lingkungan perutusan bersama konfrater yang notabenenya banyak mengeluh daripada menghargai apa yang ada. Sebagai contoh kecil dalam refleksi saya di pojok ruang kapitel sebagai notulis, prosesnya diibaratkan saat saya mendampingi formandi untuk menceritakan tentang life story yang mereka miliki. Pengungkapan mereka tidak jauh-jauh dari ingatan afeksinya, yang sudah terpola sejak tahap perkembangannya. Padahal jika kita bisa mengubah pola berpikir, mengajak mereka menerima, mengakui, dan menghargai apa yang sudah terjadi dengan bantuan formator utama (Roh Kudus), maka cara yang ditemui sendiri dalam proses transformasi diri berdampak untuk beberapa banyak calon frater (formandi). Mereka penuh semangat dibimbing untuk belajar mentransformasi dirinya. Dengan demikian saya ibaratkan, betapa memadainya “whiteboard” yang bisa mereka goreskan dengan spidol tanpa harus berhubungan lagi dengan debu dari kapur tulis. Berapa banyak formandi (frater) yang melempar senyum manis kepada dirinya sendiri bahkan menemui jubahnya di balik pintu kamar untuk menciumnya.
Sebenarnya sah-sah saja kita berpikir tentang kekurangan yang ada, tetapi bukan berarti itu menjadi momok menakutkan bagi kita untuk mentrasformasi diri dan persekutuan kita. Bukankah yang lebih baik berpikir sesedikit mungkin tentang hal buruk dan kekurangan, lalu menggali lebih banyak hal positif yang bisa mendongkrak dan mendorong kedinamisan kita. Dengan cara itu, kita memperbaiki segala kekurangan yang ada di dalam diri dan mengubahnya menjadi potensi yang berdaya guna dan menghasilkan buah-buah Roh. Secara pribadi sebenarnya dampaknya bisa kita rasakan secara langsung. Saat kita berhasil mengubah pola berpikir, yang datang dari dalam diri setiap frater bukan melulu tentang rasa lelah, tertekan, depresi, dan keputusasaan, melainkan sunggingan senyum yang lebih lebar di sela-sela keseharian kita. Dan dengan itu, langkah kita lebih ringan untuk merubah keadaan-keadaan buruk di sekitar untuk menjadi lebih positif. Memang kita sadari sepenuhnya, hal ini tidaklah semudah menyeruput teh dingin di dalam gelas. Namun, melalui pembiasaan yang kita lakukan, hal ini tentu akan lebih mudah dijalani dan diterima oleh akal sehat kita.
Alunan suara lembut frater Leo Ruitenberg seakan menghipnotis dan membangunkan kesadaran para peserta Kapitel Umum 2018. Mereka adalah representasi anggota Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus yang dalam permenungan saya adalah mewakili suara Tuhan dan Mgr. Andreas Igantius Schaepman. Bapa Pendiri telah tiada, frater-frater Belanda tinggal sedikit setelah sebagian besar telah kembali ke pangkuan Sang Khalik. Frater-frater Indonesia harus menjaga kekayaan rohani dan nilai-nilai semangat dasar kita supaya tetap dihidupi. Spiritualitas itu harus terus diwariskan dari generasi ke generasi sebagai suatu tradisi yang hidup yang tidak bisa dicampakkan ke tempat sampah, lalu dimakan ngengat. Ungkapan sesepuh generasi terakhir di Negeri Belanda itu, “Orang tua akan meninggal, tetapi anak-anak harus tetap hidup” seakan-akan menggugat eksistensi keberlangsungan Persaudaraan Bunda Hati Kudus di masa mendatang, hingga akhir menutup mata.
Fr. M. Paschalis Baun, BHK