Sebuah Sharing
Pagi yang cerah di kota Lodwar seakan membakar semangatku untuk pergi dan melayani anak-anak di tempat penampungan anak jalanan, Nadirkonyen. Tempat ini laksana air penyejuk di tengah kerasnya hidup bagi puluhan anak manusia yang kehilangan kebahagiaan di masa kecilnya karena ditinggalkan orangtua atau ditelantarkan. Kisah miris hidup mereka membuatku terharu dan iba.
Aku bertanya, “Sebegitu tegakah orangtua membiarkan buah hatinya hidup dalam kesengsaraan ini?” Mereka harus merasakan kerasnya hidup dengan meminta-minta atau mencari secuil makanan dari tempat sampah di depan warung makan di kota itu. Tempat tidur mereka hanya beralaskan kertas di teras pertokoan ketika malam tiba. Kisah mereka telah menjadi buah permenunganku belakangan ini untuk membagikan kasihku sekaligus menjadi saudara bagi mereka, walau sikap dan tingkah laku mereka kadang membuatku hilang kesabaran.
Aku menuju ke tempat kerjaku di sebuah ruang kelas kecil. Satu per satu anak-anak yang baru diterima dalam rumah penampungan ini harus mengikuti tes menulis dan membaca agar bisa ditempatkan sesuai dengan kemampuannya. Anak yang pertama dan kedua berjalan lancar saja. Mereka sudah bisa membaca dan menulis. Datanglah anak yang ketiga, Josephine namanya.
Seperti biasa, dengan senyum dan nada bersahabat aku menyapanya, “Josephine sudah bisa menulis?” Ia menjawab dengan nada ketus, “Bisa.” Aku menyodorkan buku tulis dan pensil kepadanya sekaligus memintanya menulis alfabet dari A sampai Z. Ia menerima buku itu lalu menulis sebisanya sambil aku menunggu dan mengamati, apakah ia sungguh bisa menulis. Ia menyodorkan tulisannya kepadaku dan betapa terkejutnya aku. Ia hanya mencoret-coret di atas kertas putih itu. Aku terdiam bercampur kesal.
“Anak seumur ini kalau di tempatku sudah bisa membaca dan menulis,” bisikku dalam hati. Aku berusaha sabar membimbingnya lagi. Aku menuliskan deretan alfabet dan memintanya meniru tulisan itu. Ia mencobanya, walau dengan terpaksa. Ia menatapku lalu berkisah, “Aku belum pernah menulis seperti ini. Aku selalu diperintahkan orang tuaku untuk melakukan tugas harian di rumah: mencari kayu bakar untuk dijual dan membuat sapu dan tikar dari daun lontar. Ayahku sudah menjodohkan aku dengan seorang lelaki di kampungku.”
Aku memandangnya penuh kasihan. Keceriaan anak seumurnya telah dipasung oleh desakan ekonomi. Sungguh memilukan! Aku memberikan kopian kertas berisi alphabet dan memintanya untuk berlatih di waktu senggangnya. Sejak saat itu, ia selalu mendapat perhatian dariku.
Beberapa bulan berselang, Josephine kelihatan gembira dan ceria. Ia mulai merasakan kebahagiaan yang selama ini hilang. Walau ia kelihatan lebih berumur, tetapi bisa bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Ia sering menemuiku sambil menunjukkan nilai, hasil jerih payahnya di kelas. “Sekarang aku bisa membaca dan menulis dengan baik. Terima kasih banyak,” katanya suatu ketika. Ungkapannya itu membuatku sungguh terharu. Ia telah mengajarkan kepadaku tentang makna memberi dengan hati dan tentang nilai kesabaran untuk menuai hasil pada waktunya lewat usaha dan pengorbanan tanpa batas.
Fr. M. Vinsensius Laga Payong, BHK, mantan misionaris di Lodwar