Kenangan Penuh Kasih
Tujuh puluh empat tahun lalu, tepatnya pada 15 Agustus 1946, Willibrordus mengawali hidup sebagai frater Bunda Hati Kudus. Waktu itu adalah akhir masa perang. Masa novisiat dijalaninya di kastil Hemstede di Houten. Bersama 15 pemuda lainnya, ia mempersiapkan diri menjadi seorang biarawan. Pendidikan Guru ditempuhnya di sekolah frater yakni SPG St. Jozef di Zeist. Setelah tamat, ia mengajar di sekolah-sekolah dasar, berturut-turut di Zeist, Amersfoort, kemudian kembali lagi ke Utrecht. Pada 1973, fr. Prudentius meninggal dunia, sehingga selain menangani tugas-tugas di sekolah, fr. Willibrordus juga mengurus kebun. Dari sini, mulai tampak bahwa Willibrordus lebih berminat pada alam daripada mengajar.
Pada tahun-tahun itu, selain mengajar di sekolah, Willibrordus juga menangani tugas lain sesuai kegemarannya, antara lain menjadi pembina klub sepak bola Zwaluwen Vooruit hingga menjadi wasit. Ia juga menjadi pembantu pada institut kateketik ‘De Beiaard’, sebuah karya yang telah dirintis sejak abad sebelumnya oleh pater Van Ginneken bersama Perkumpulan Wanita Bethania. Pekerjaan ini dilakukannya pada malam hari selama lebih dari 20 tahun. Di sini, ia mendampingi hampir 30 katekumen. Di Utrecht, ia juga bergabung dengan Perkumpulan Atletik Phoenix di Panbos, di mana olahraga menjadi sebuah kegiatan rekreasi mingguan.
Awal tahun 80-an, Bruder Budi Mulia memintanya mengajar di Curacao. Tampaknya ini merupakan sebuah pilihan yang sangat menantang. Daerah ini memiliki iklim yang panas, sehingga menyebabkannya jatuh sakit. Ia terpaksa kembali lagi ke Belanda.
Ia kemudian kembali lagi ke Borculo, di mana ia disibukkan lagi dengan berbagai tugas sekolah hingga memasuki masa pensiun. Beberapa tahun setelah pensiun, ia pindah ke Arnhem dan sejak tahun 2009, ia tinggal di Frateran St. Jozef, di De Bilt.
Mengenai kecintaannya kepada alam, ia bercerita, “Pada 1958 saya mengajar pada sebuah sekolah di Amersfoort. Bersama fr. Efrem Stein, saya mengunjungi perkebunan de Treek. Frater ini mengenal sejumlah besar jenis burung. Dan dari fr. Majella saya belajar berbagai jenis jamur. Sejak itu, saya juga belajar banyak hal tentang kupu-kupu dan lebah. Dengan demikian, melalui konfrater, antara lain saya menemukan kecintaan kepada alam.”
Willibrordus memeroleh pengetahuan tentang alam tidak dari bangku sekolah. Dia belajar langsung dari alam. Ia tak hanya melihat, tetapi melakukan pengamatan. Ia juga memerolehnya dari seseorang, ketika berjalan-jalan di hutan ‘frater itu’. “Dia menceritakan kepada kami, bahwa ada burung hantu di pohon. Ini sesuatu yang luar biasa. Ketika kami pada suatu waktu, berjalan-jalan lagi di hutan yang sama kami tidak melihat burung hantu tersebut, kami tidak menemukan pohon, di mana burung itu bertengger.”
Waktu di Borculo, banyak ditemukan jenis tanaman liar dan kupu-kupu yang sangat indah. Pada awalnya, hanyalah tanaman liar. Frater Jeroen yang menangani kebun ini tahu tentang semuanya. Dari dia, fr. Willibrordus banyak belajar, selain juga mengantarnya keliling.
Pada 1989 seorang mahasiswi biologi berusia 17 tahun meminta fr. Willibrordus untuk menginventarisir berbagai spesies kupu-kupu miliknya. Gadis itu berhasil menemukan hingga 22 jenis. Para frater di Borculo memanggil gadis itu dengan sebutan ‘putri kupu-kupu’. Fr. Willibrordus sangat berterima kasih kepadanya, karena dengan itu ia makin mengetahui banyak hal. Dari sinilah, muncul sesuatu yang lain, yakni terbentuknya sebuah kelompok pencinta kupu-kupu. Pada masa tinggalnya di Borculo ini, fr. Willibrordus perlahan-lahan menjadi semakin terkenal di Belanda. Sejak 2001, melalui Fenolijn (salah satu bagian dari Program radio Vroege Vogels), ia mengadakan siaran. Selama masa itu, orang-orang berdatangan menemui saya dan bertanya, “Apakah Anda seorang frater dari Willibrordus?” Dengan segera saya menjawab, “Tidak, fr. Willibrordus adalah salah satu dari kami.”
Di Arnhen, taman sekitar frateran tidak seluas di Borculo. Meskipun demikian, fr. Willbrordus juga mengusahakan sebuah kebun kecil untuk kupu-kupu. Di sana dia mengadakan kontak dengan kelompok studi lapangan, di mana setiap Rabu pagi, bepergian bersama mereka. Waktu itu fr. Willibrordus masih kuat untuk bersepeda. Popularitasnya juga bertambah melalui undangan mingguan dari Vroege Vogels. Kalimat pendek, “Bersama frater Willibrordus di De Bilt….Arnhem…Borculo…” setiap kali terdengar pada acara Fenolijn.
Selama 18 tahun, sejak pertama kali bekerja sama dengan Fenolijn, banyak fenomena alam yang berhasil dikumpulkan. Fr. Willibrordus ingin agar para pendengarnya selalu bersama terlibat dalam pengamatan, maupun dalam memberikan hasil pengamatannya. Inilah yang membuatnya dicintai para pendengarnya.
Belum
lama ini, kami mendengar lagi ketika program Vroege Vogel memperingati kematian
frater Willibrordus dengan pantas. Sekali lagi kami mendengar kalimat,
“Bersama
frater Willibrordus di De Bilt … pada 24 Mei, bersama pengunjung kami ke
Oostbroek. Tahun ini, saya mengambil kotak kupu-kupu dari gudang dan
mengejutkan. Kepompong pertama muncul. Dan pada 25 Mei saya membebaskannya.”
Secara teratur, fr. Willibrordus membangun kontak dengan Fenolijn melalui telepon. Karenanya, kehidupan fr. Willibrordus sendiri, hampir selalu diikuti. Jika sudah dua pekan tidak mendengar suara frater Willibrordus melalui radio, para pendegarnya akan bertanya-tanya. Tentang hal ini seorang kolomnis koran Trouw, Ger Groot, pada 2007 menulis, “Hidup ini terasa sedikit di luar kendali, ketika tidak lagi mendengar suara frater Willibrordus.”
Namun, begitu ia dapat kembali, ia bercerita tentang kupu-kupu musim semi dan tanaman bunga, dulu di taman frater Jeroen di Borculo, kemudian Arnhem dan terakhir dari Frateran St. Jozef, De Bilt. Pada tahun-tahun terakhir, fr. Willibrordus sudah agak berkurang bepergian. Kegiatan pengamatan lebih sering dilakukannya di sekitar biara atau di lahan pertanian Oostbroek.
Lima tahun lalu, fr. Willibrordus baru saja pulih dari sakit yang membuat dirinya tetap terbaring selama beberapa waktu. Henny Radstaak, seorang reporter mengunjunginya di De Bilt dan bertanya, “Apakah iman masih memainkan peran dalam perhatian dan cinta kepada alam?” Fr. Willibrordus menjawab, “Jika saya meninggal, saya percaya bahwa saya akan memperoleh tubuh yang dimuliakan sebagaimana yang kita imani. Saya tidak mampu membayangkannya, tetapi dapat mengumpamakannya seperti ulat yang mengalami metamorfosa menjadi seekor kupu-kupu.”
Willibrordus sungguh sadar bahwa beberapa tahun terakhir ia memasuki suatu fase kehidupan yang rentan. Kekuatannya semakin menurun dan beberapa penyakit yang diidapnya menyebabkan dirinya harus ditangani dokter secara teratur. Namun selama masa itu, ia tetap menggunakan transportasi lain, seperti Valys atau Regiotaxi, juga skuter mobil untuk mengunjungi teman dan kenalannya. Atau, kadang ia mengundang mereka untuk datang kepadanya. Dalam hampir setiap pertemuan itu, ia dikenal sebagai pendongeng sejati dan sering kali dia tidak bisa berhenti.
Kini, kontak dengannya telah berakhir. Skuter yang setia membawanya ke mana pun ia inginkan, menjadi sesuatu yang fatal bagi frater Willibrordus. Pada 30 Agustus 2019, ia dilarikan ke rumah sakit dan menjalani dua operasi. Setelah itu, ia dirawat di unit perawatan intensif dan tak dapat didekati lagi. Rencananya, dia akan pulang dan meninggal di sana. Namun, hal itu tidak mungkin. Di satu sisi kita dikejutkan oleh kematian ini, tetapi kita juga bersyukur bahwa penderitaan yang panjang telah terhindarkan darinya.
Suaranya yang selalu kita dengar pada setiap minggu pagi pada program Vroege vogels, tidak akan kita dengar lagi. Namun, kita memiliki keyakinan kuat bahwa ia telah menjadi pendoa kita kepada Sang Pencipta, untuk menyadarkan kita bahwa alam dan iklim patut perhatian kita semua.
Frater Willibrordus, terima kasih atas cara penghayatan hidup religius, yang frater tunjukkan, yang menginspirasi dan mengajarkan kami, untuk mencintai alam sebagaimana yang frater lakukan. A Dieu, Sampai jumpa di rumah Bapa.
Fr. Wilfried van der Poll
Diterjemahkan oleh Fr. M. Adolf Cawa, BHK