Senja pelahan menyelimuti sebuah perkampungan di lereng gunung Leraboleng, jauh dari keramaian kota Larantuka. Seorang ayah duduk tenang melepaskan lelah sesudah bekerja seharian membanting tulang di kebun. Sementara itu, dari kejauhan, ia mendengar canda-ceria anak-anaknya yang larut dalam permainan “hide and seek”. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu memanggil anak-anak kesayangannya ini. Katanya, “Anak-anakku, jam-jam ini harusnya kalian belajar bukan hanya bermain meluluh. Gunakan waktu belajar secara baik agar bisa jadi pintar atau maukah kalian menjadi seperti ayahmu ini. Saya berusaha memberikan segala untuk masa depan kalian semua jadi jangan sia-siakan.”
Anak-anak tertegun merenungkan makna nasihat sang ayah ini. Ayahnya melanjutkan: “Biarlah hanya ayah dan ibu ini yang bodoh dan miskin tapi kamu jadilah anak-anak yang baik”. Nasihat terakhir ini sungguh menyentuh kesadaran masing-masing anak kesayangannya. Figur ayah yang sederhana ini meneropong pendidikan sebagai sarana perubahan di dalam kehidupan seseorang dan dalam masyarakat. Ia mungkin tidak menyadari hal ini tapi itulah filosofi hidup orang-orang kecil di pedesaan bahwa hanya melalui pendidikan sesuatu bisa berubah.
Pengalaman perjumpaan dengan pribadi sederhana di pedesaan menyadarkan saya bahwa pendidikan punya nilai strategis dalam pembentukan seseorang menjadi pribadi yang bermutu dan berkwalitas dalam seluruh dimensi kehidupannya. Pendidikan mengubah paradigma dan cara pandang seseorang terhadap realita yang dialaminya. Secara sederhana, pendidikan dipahami sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Definisi ini kelihatan sederhana tapi sarat makna, mari kita mencermatinya.
Pendidikan sebagai Usaha Sadar
Ini berarti pendidikan pada level apapun selalu dilakukan secara sadar bukan hanya berjalan seperti apa adanya atau seadaannya. Usaha sadar ini menjadi ciri dasar eksistensi kita sebagai mahkluk yang berpikir karena kita dianugerahi dengan kemampuan akal budi oleh Tuhan atau kemampuan untuk bernalar. Manusia tidak seperti makhluk lainnya yang beroperasi pada ranah insting meluluh dan kita tidak mau disejajarkan dengan golongan ini. Latihan sederhana dan pembiasaan ketika masih bayipun dilakukan secara sadar karena kita percaya bahwa pendidikan yang diterima seseorang membentuk sekaligus mengasa dunia berpikirnya, mempertajam sistem analisis dan mengstimulus wawasan berpikir tentang diri dan dunianya.
Singkatnya, dimensi kognitif / intelektual seseorang menjadi semakin berkembang dari cara berpikir yang simple menuju ke cara berpikir yang lebih komprehensif. Juga, para educationis (ahli/pakar pendidikan termasuk guru-guru) mengformulasikan sistem dan kebijakan pendidikan, proses belajar dan pembelajaran di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan pada level manapun selalu dalam suatu kesadaran bahwa ini demi perkembangan dan kebaikan seseorang. Dimensi manusia menjadi titik sentral dalam penentuan kebijakan pendidikan. Para pengambil kebijakan dalam pendidikan bangsa inipun percaya bahwa hanya melalui pendidikan suatu Negara atau bangsa bisa berkompetisi dengan Negara lainnya sebab ia memiliki sumber daya manusia yang bermutu dan handal.
Usaha sadar ini juga harus ditunjukkan oleh setiap individu karena perkembangan hanya terjadi jika seseorang membuka diri dan bekerja keras untuk sebuah perubahan. Ini sejalan dengan pemahaman pendidikan sebagai ‘educatum‘ yang tersusun atas dua kata yaitu ‘E‘ dan “Duco“. Kata E berarti sebuah perkembangan dari dalam ke luar atau dari sedikit menjadi banyak, sementara ‘Duco’ berarti perkembangan atau sedang berkembang. Arti etimologi, pengertian pendidikan adalah menjadi berkembang atau bergerak dari dalam keluar, atau dengan kalimat lain, pendidikan berarti proses mengembangkan kemampuan diri sendiri (inner abilities) dan kekuatan individu. Kata Education sering juga dihubungkan dengan ‘Educere‘ (Latin) yang berarti dorongan (propulsion) dari dalam keluar. Artinya pendidikan hanya berhasil jika ada usaha sadar dari dalam diri seseorang bukan semata hanya paksaan dari luar.
Pemahaman ini sejalan dengan pandangan Plato tentang pendidikan. Ia meneropong pendidikan sebagai sebuah proses yang dilakukan seumur hidup (life-long) yang dimulai dari seseorang lahir hingga kematiannya, yang membuat seseorang bersemangat dalam mewujudkan warga negara yang ideal dan mengajarkannya bagaimana cara memimpin dan mematuhi yang benar. Menurutnya pendidikan tidak hanya menyediakan ilmu pengetahuan dan kemampuan akan tetapi nilai, pelatihan insting, membina tingkah laku dan sikap yang benar. Pendidikan yang sejati (true education), akan memiliki kecenderung terbesar dalam membentuk manusia yang beradab dan memanusiakan manusia dalam hubungan mereka bermasyarakat dan mereka yang berada dalam perlindungannya. Definisi dan pengertian pendidikan inilah yang menjadi arah yang kemudian dijadikan sebagai dasar dari pengertian pendidikan lainnya khususnya di negeri barat.
Pendidikan sebagai Sebuah Usaha yang Sistematis
Pendidikan sebagai sebuah usaha yang sistematis karena berkorelasi erat dengan dimensi kebijakan sebagai institusi. Dalam konteks Negara kita, ada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang mengatur bagaimana struktur pendidikan dari jenjang dasar sampai pendidikan tinggi dengan regulasi dan tuntutan yang diharapkan. Lembaga ini punya wewenang untuk menyusun kurikulum pendidikan sesuai dengan situasi kontemporer masyarakat agar pendidikan menjadi lebih tepat-guna dan menjawapi kebutuhan zaman ini, mampu bersaing dengan tuntutan dunia dewasa ini. Dalam konteks yang lebih mikro, Yayasan Mardi Wiyata adalah lembaga pendidikan yang menentukan kebijakan tentang pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah asuhannya. Sekolah-sekolah menjalankan kurikulum dari pemerintah secara teratur dan sistematis, proses pelaksanaannya diprogramkan secara teratur, proses belajar dan pembelajaranpun diatur secara teliti agar mencapai tujuan yang dicita-citakan. Inilah beberapa contoh mengapa pendidikan dipahami sebagai proses yang sistematis.
Disamping itu, sistimatika pendidikan hendaknya disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan sesorang individu artinya proses belajar dan pembelajaran di-design secara tepat dan teratur sesuai dengan tingkat usia dan daya tangkap seseorang. Maka setiap tingkat pendidikan memiliki karakteristik tersendiri dalam proses pembelajaran entah itu menyangkut konten, luas dan dalamnya materi pembelajaran yang diberikan agar seseorang bisa menyerap suatu ilmu sesuai dengan daya tangkapnya; tidak dipaksakan. Kurikulum yang dibuat biasanya mempertimbangkan seluruh dimensi perkembangan seseorang agar ia berkembang dalam seluruh dimensi kekodratiaanya sebagai seorang manusia. Metode pendekatan yang digunakan dalam dunia pendidikan adalah metode ‘comprehensive, systematic and holistic’.
Tujuan akhir Pendidikan
Tujuan akhir dari pendidikan secara sederhana adalah tercapinya taraf hidup dan kemajuan yang lebih baik sebagaimana diformulasikan dalam defenisi diatas. Menurut pemikir Comenius pada abad pertengahan, tujuan akhir pendidikan adalah bahwa individu mampu mengembangkan kualitasnya terhadap agama, ilmu pengetahuan dan moralnya, yang membuatnya mampu mengklaim dirinya sebagai manusia. UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 menggarisbawahi tujuan akhir dari pendidikan sebagai kesempatan dimana seorang individu mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tujuan pendidikan ini hanya dapat dicapai jika dan hanya jika semua komponen yang terlibat aktif dalam dunia pendidikan bisa memainkan perannya secara optimal. Singkatnya tujuan pendidikan dapat digagaskan sebagai pengembangan potensi seseorang agar menjadi manusia yang penuh/utuh.
Secara sederhana disimpulkan bahwa pendidikan memainkan peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang yang holisti. Agar tercapainya tujuan ini pendidikan harus diregulasikan secara teratur dan sistematis serta diselaraskan dengan tingkat perkembangan seorang individu. Pertanyaan reflektif untuk kita para insan pendidikan adalah sejauhmana pelayanan pendidikan yang diberikan sungguh membuat orang yang kita layani berubah menuju ke suatu taraf hidup yang lebih baik?
Fr. M. Vinsensius Laga Payong, BHK