“Jangan tanyakan apa yang kongregasi berikan kepada kita, tetapi tanyakan apa yang kita berikan kepada kongregasi.”
“Hidup bukanlah soal siapa yang paling tua, tetapi siapa yang paling mampu memaknainya. Karena tidak semua orang yang sudah tua mampu memaknai kehidupan.”
Pernyataan di atas saya variasikan dari sebuah ucapan yang pernah dituturkan oleh John F. Kennedy, presiden Amerika Serikat, yang aslinya, ”Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu.” Ucapan ini mengandung arti sikap tanggung jawab sebagai warga negara yang baik. Di dalam konteks kongregasi kita, hal ini berarti, bagaimana tanggung jawab kita para frater sebagai anggota yang baik dalam kongregasi.
Kini Kongregasi kita telah berusia 90 tahun di Indonesia setelah melebarkan sayapnya dari negeri kincir angin (Belanda) sejak 1928 silam. Para laskar Kristus, yaitu para frater misionaris datang dengan jiwa militan, untuk menyebarkan benih pendidikan yang merupakan karya pelayanan Kongregasi. Berdasarkan sejarah, sepak terjang mereka mengawali karya pendidikan dengan tidak mudah, bahkan ada dari para frater misionaris yang ditawan oleh tentara Jepang, hingga meninggal dunia. Namun, mereka tidak pernah menyerah dan menyurutkan semangatnya. Hal yang ada di dalam hati dan pikiran mereka adalah bahwa para kawula muda harapan gereja harus mendapatkan pendidikan yang baik. Berkat jiwa militan dan kegigihan mereka, maka karya pendidikan para frater menghasilkan buah yang baik dan manis, sehingga menjadi sangat terkenal, bahkan sampai sekarang masih dikenang oleh mereka yang pernah merasakan sentuhan tangan dingin para frater misionaris.
Tak bisa dipungkiri, bahwa karya pendidikan yang masih eksis sampai sekarang seiring dengan eksisnya kongregasi BHK, tidaklah terlepas dari peran para frater misionaris. Harus diakui dengan rendah hati pula, bahwa para frater misionaris telah meletakan dasar yang kuat, bagi karya pendidikan para frater masa kini dengan segala tantangan dan perubahannya. Kita para frater yang hidup di masa kini, tidak boleh berpuas diri dengan hidup dalam lamunan kejayaan keberhasilan pendidikan para frater pendahulu. Malahan, kita seharusnya ditantang untuk mengembalikan kejayaan karya pendidikan para frater pendahulu, teristimewa para frater misionaris. Di atas semuanya itu, apabila karya pendidikan para frater tetap berdiri kokoh kuat hingga saat ini, semua itu karena rencana dan kehendak serta kasih setia Tuhan kepada kongregasi, bukan karena hebat dan kuatnya kita para frater.
Karena itulah, usia 90 tahun kongregasi di Indonesia, bukanlah perjalanan yang singkat, melainkan sebuah perjalanan yang panjang, yang tentunya penuh dengan tantangan, onak dan duri, baik yang berasal dari dalam kongregasi sendiri, maupun yang berasal dari luar. Apalagi memasuki tahun 2018, kongregasi kita akan memasuki bahtera babak baru dalam sejarah perjalanannya, yakni dengan ditutupnya rumah provinsi, baik di Belanda maupun di Indonesia dan akan terintegrasi dalam rumah pusat. Ini juga menjadi tantangan tersendiri, mengingat SDM frater sangat terbatas. Namun, kita percaya bahwa tangan Tuhan turut serta dalam pelayaran kita dan dalam karya agung-Nya ini. Dia yang memulai, pasti Dia pulalah yang berkarya di dalamnya. Dan yang terpenting kita berserah kepada-Nya…
Maka, mari sekali lagi kita maknai 90 tahun usia kongregasi kita di Indonesia, sebagai momentum untuk mensyukuri sekaligus untuk merefleksikan diri kita masing masing, baik pemimpin maupun para anggota kongregasi. ”Apa yang telah kita perbuat untuk kongregasi kita?” Jujur kita harus akui, bahwa kongregasi sebagai ibu kita telah menghidupi kita para putranya. Namun, apa balasan kita untuk ibu kita ini? Sumbangan dan perhatian sekecil apa pun untuk ibu kita, sangat bermakna. Termasuk kritik sekalipun, yang penting, kritik yang dilontarkan itu bersifat konstruktif. Asal tidak hanya kritik, tetapi juga menyodorkan solusi. Itulah kritik yang membangun dan itulah frater yang kritis (berbobot, berkualitas).
Namun, jika kita mengeritik, tetapi tidak memberikan solusi, itu artinya kriti kita bersifat desktruktif, itulah frater yang krisis (kurang berbobot, berkualitas). Dan jika kita mengeritik, hendaknya kita lakukan secara sopan dan beretika. Para pemimpin, bukanlah malekat patah sayap yang turun ke bumi, mereka tetaplah manusia yang sama seperti saya, anda, dan kita. Maka, mari kita berkontribusi untuk kongregasi kita yang tercinta, yang merupakan ibu kita semua. Semoga Maria Bunda Hati Kudus, mendoakan kita putranya, agar diberi hati yang lembut, sehingga mau menerima kritik dan mengkritik dengan hati yang lembu pula (Spiritualitas Hati).
Sekali lagi, jadikan momentum 90 tahun ini, sebagai pembahruan komitmen kita bersama untuk menjadikan kongregasi sebagai garda terdepan dalam pendidikan yang berkualitas dengan mengedepankan PPK (Penguatan Pendidikan Karakter), pembelajaran abad 21 atau 4C (Creative, Critical thinking, Communicativedan Collaborative), HOTS (Higher Order Thinking Skill). Kita para frater, baik yang berkarya di sekolah atau pun menerima tugas pelayanan lain, harus menjadi TELADAN dalam bersikap, berperilaku, bertutur kata, dan bertindak, yang dijiwai oleh Spiritualitas Hati.
Semoga karya pendidikan kita semakin jaya di masa kini dan mendatang. Karena itu, mari mendedikasikan diri kita total dan loyal, sebagai kado terindah pada usia 90 tahun kongregasi kita. Barangkali kata-kata Bunda Teresa dari Kalkuta, dapat menjadi inspirasi buat kita, yakni “Barangkali dalam hidup ini, kita tidak bisa melakukan hal hal yang besar, tetapi kita bisa melakukan hal hal kecil dengan cinta yang besar”. Itulah motivasi dari ibu Teresa untuk kita, dalam dan demi kelangsungan hidup kongregasi kita.
Akhirnya, renungkanlah pernyataan inspiratif berikut ini,
“Ketika aku sadari bahwa aku tidak bisa mengubah kongregasiku, aku mulai berusaha mengubah provinsiku. Ketika aku semakin tua, aku sadari tidak mudah mengubah provinisku. Maka aku mulai mengubah komunitasku…
Kini aku semakin renta, aku pun tak bisa mengubah komunitasku. Ternyata aku sadari bahwa satu-satunya yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri.
Tiba-tiba aku tersadarkan bahwa bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, aku pasti bisa mengubah komunitasku dan provinsiku.. Pada akhirnya aku akan mengubah kongregasiku dan aku pun bisa mengubah seluruh dunia ini.”
Fr. M. Yohanes Berchmans, BHK