Cerpen Sejarah Permulaan Karya Kongregasi di Indonesia
Malam itu, perasaanku tak karuan. Di malam hari kedua Februari 1928 itu, aku takut dan gelisah sampai sulit tidur. Perayaan malam perutusan yang dihadiri sesama saudaraku berlangsung meriah, namun tak kuasa mengusir gundah di hatiku. Suhu kamarku terasa hangat berkat penghangat ruangan yang bekerja sepanjang waktu. Di luar, udara terasa dingin menusuk tulang. Titik-titik salju sisa musim dingin masih menempel di daun-daun dan reranting cemara. “Ayah, inilah konsekuensi pilihan hidupku. Tapi aku akan mampu menjalaninya sebagaimana janjiku pada ibu saat aku meninggalkan rumah dulu!” Aku berkata pada diriku sendiri. Di sisi jendela yang sengaja kubuka aku menerawang. Di depan mataku hamparan lampu malam indah dipandang. Gedung-gedung megah pencakar langit terlihat kokoh membingkai kota. Daerah yang temasuk dalam wilayah Utara itu tak pernah mati oleh geliat penghuninya.
“Pada kota ini jejak rinduku akan kutinggalkan,” gumamku. Aku menakar seberapa besar rasa itu akan kutanggung tatkala jarak memisahkan aku dengan tanah kelahiranku yang telah berjasa menumbuhkan semangat hidupku. Iya, jiwa jejakaku digelorakan di tanah ini. Itu juga yang mendorong nyali lelakiku menyala dan mantap menjawab “Ya” pada tugas perutusan yang besok lusa akan membawa ragaku pergi jauh, mengarungi samudera, menyeberangi lautan menuju sebuah daerah yang hanya kutahu melalui peta tua di dinding perpustakaan.
“Aku adalah pemuda yang menyukai petualangan. Bukankah itu membanggakan? Bahwa di usiaku yang masih hijau, 32 tahun, aku telah mendapatkan kepercayaan yang besar ini!” Aku menguatkan diriku. Ada rasa gembira dan bangga karena generasi mendatang akan mengenang malam ini sebagai malam Misi yang salah seorang tokoh di dalamnya ada namaku. Walaupun ada rasa sedih karena harus berpisah dengan orang-orang tercinta, tanah air, dan rekan-rekan sepanggilan, namun kata-kata hiburan itu kemudian menjadi obat penenang yang membawa diriku ke dunia mimpi. Kuakhiri malam perpisahan itu dalam antusiasme yang menyelimuti lelapku.
Jan Pieterzoon Coen terlihat kokoh bersandar di dermaga. Empat hari setelah malam perutusan, kami meninggalkan Utrecht menuju Genua menggunakan kereta api. Sebelumnya, Uskup Agung Utrecht, Mgr. van de Wetering mempersembahkan Misa mulia dan berkat apostoliknya kepada kami di kapel Rumah Induk. Dalam perayaan itu Mgr. Wetering juga memberi kami salib Misi. Bagiku yang masih sangat muda ini, perhatian dan dukungan moril Yang Muliasungguh menguatkan.
Dari pelabuhan di wilayah Selatan itu, perjalanan ke negeri Timur jauh yang memakan waktu berminggu-minggu dimulai. Saat sirene kapal terdengar menggetarkan, riuh hatiku yang beberapa malam sebelumnya telah redah, kini bergemuruh. Jantungku berdebar kencang. Resahku kembali membuncah. Ini pertama kali aku bepergian dengan moda transportasi laut. Kapal besar yang gagah perkasa dan siap menantang lautan luas itu akan membawaku ke negeri jauh di ufuk timur. “Ayah-ibu, doakan anakmu!” Batinku berteriak meminta pertolongan dari rumah. Kepada langit kutengadahkan kepala. Sejurus kemudian, rapalan doa permohonan mengalir deras bagai air di dinding jurang. Aku meminta perlindungan-Nya. Aku memohon penyertaan para penghuni surga bagi perjalanan Misi yang mendebarkan ini. Jangkar dinaikan, tali-tali dilepaskan, kapal segera berangkat. Lambaian tangan mengiringi piasan buih ombak di moncong kapal. Deru mesinnya menambah gemuruh hujan sedih di hatiku. Detik itu tercatat dalam sejarah hidupku, untuk pertama kalinya aku pergi ke negeri jauh di selasar samudera. Aku meninggalkan ayah-ibu, rekan-rekan sepanggilan, dan tentu saja negeri yang sangat kucintai itu untuk mengawali petualanganku sebagai seorang misionaris muda.
“Tuhan, ke tempat inikah, Engkau mengutusku?” Tanyaku agak protes dalam nada tak bersuara kala pijakan kaki pertama kali kujejaki di tanah Misi pada 4 Maret di tahun itu. Terbayang berbagai macam kesulitan yang akan kuhadapi pada hari-hari yang akan datang di tanah asing ini. Bahasa, budaya, makanan, dan adaptasi lingkungan, hanya beberapa di antaranya. Jiwa mudaku agak goyah. Hatiku kembali gaduh. Negeriku telah kutinggalkan beribu-ribu mil di ujung barat. Kecemasan turut membelenggu jiwaku.
“Welkom, broer!” Mgr. Clemens van der Pas, O.Carm, Perfek Apostolik pertama Malang menyambut kami di sisi stasiun kereta api Malang, 11 hari setelah kapal penumpang yang membawa kami dari Negeri Belanda membuang sauh di Batavia. Pemilik suara teduh itu menyalami kami dengan hangat. Sapaan dan senyumannya menenangkan. Sesaat aku merasa berada di negeri sendiri. Bersama sang Gembala dan para Imam Karmelit yang terlebih dahulu diutus ke negeri Hindia Belanda ini, aku mulai menata ruang rasaku.
Dewan Pimpinan Umum di bawah nahkoda frater Stanislaus Glaudemans memutuskan komposisi yang apik bagi kedua misionaris awal, aku dan frater Gregorius Goedhart. Beliau yang diutus menjadi misionaris saat berusia 63 tahun itu adalah seorang konfrater yang sifat manusiawi, tindakan, dan jalan hidupnya serba istimewa dan agung. Kata “Goedhart” pada namanya yang berarti “baik hati”, arti itu betul-betul melekat pada dirinya. Dia adalah pribadi yang lemah lembut. Pilihan Dewan Pusat bagi peletak dasar kongregasi di Indonesia ini merupakan sepasang misionaris yang serasi. Aku, Wilfridus Weling, frater muda dengan semangat yang berapi-api perlu didampingi oleh seorang senior dan pemimpin yang matang dalam pertimbangan dan tindakan seperti frater yang memilih nama sama dengan nama Rumah Induk kita di Utrecht itu.Deus Providebit! Aku ingat semangat itu sebagaimana yang diteladankan Bapa Pendiri dan ketiga frater pertama di masa-masa sulit pada awal berdirinya kongregasi. Mereka selalu mempercayakan kesulitan mereka pada Penyelenggaraan Ilahi, biarlah Dia yang akan mencukupinya. “Bersama-Nya, kami akan belajar bagaimana menjadi bagian dari orang-orang sini,” batinku bertekad.
Fr. M. Walterus Raja Oja, BHK | Malang, 01.01.2018