Ego sum Pastor Bonus: Akulah Gembala yang Baik (Yesus Kristus)
Ilustrasi: Tangan-tangan Hilang
Dalam tragedi Perang Dunia (PD) II, sebuah gereja di Jerman remuk dibombardir. Dari dalam reruntuhan gedung gereja megah itu, tampak arca Kristus yang juga remuk mengharukan. Apa yang menggetarkan nurani, di balik pemandangan yang menyesakkan dada tulus kita? Usai PD II, sejumlah kecil tentara Amerika memasuki kota itu dan menemukan remukan gereja bersejarah itu. Betapa terperanjat mereka, saat menatap arca Kristus yang turut remuk itu. Apa yang mereka sikapi? Spontan, timbul niat tulus untuk menata kembali arca Guru Agung itu. Mereka pun segera mengumpulkan serpihan demi serpihan, menata memolesnya; sehingga berdirilah sebuah arca buntung. Arca Kristus tanpa tangan. Maka, spontan, seorang dari antara mereka, menuliskan seuntai kalimat di bawah kaki arca itu, “Aku tidak memiliki tangan lagi, kecuali tangan-tanganmu!”
Makna: Tangan serta Simbolisasinya
Tangan manusia, ternyata menyimpan sejuta makna, sejuta impian, bahkan berjuta simbol kemanusiaan (humanitas). Ingatkah kita akan tangan-tangan (body language) bengis para diktator kejam lalim di jagat hidup ini, dalam era sejarah peradaban bangsa-bangsa? Tangan-tangan lalim Kaiser Nero, di kota abadi Roma, misalnya. Atau pada tangan-tangan sang lalim Hitler, (1889-1945) pemimpin Nazi, Jerman. Betapa angkuh, arogan, kuasa tangan-tangan maut mereka. Bahkan, seperti dideskripsikan dalam tragedi sejarah pahit pedih yang memilukan itu, di kamp konsentrasi Austwich, Austria? Jika si lalim Hitler mengangkat tangannya setinggi angkasa, maka bersiap-siaplah seribu batang leher akan dipenggal, ditebas tanpa ampun. Dan jika tangan-tangan lalim itu diturunkan, maka si terhukum itu pun segera tersenyum lebar menerima nasib mujur.
Tangan-tangan manusia, tangan-tangan kita, serta tangan-tangan para guru kita, ternyata sarat menyimbolkan kuasa (otoritas), sejumput wibawa, sejadwal mengajar, dan bahkan sebongkah mission sacre kenabian (profetik). Namun, selaku warga dunia (homo historicus), yang memahami sepak terjang tragedi kesejarahan, kita akan segera terkesima tersentak, jika ternyata, tangan-tangan perkasa para guru kita di zaman sekarang, justru lebih menyimbolkan budaya maut. Ironisnya, bukankah tangan-tangan para guru itu, diciptakan demi sebuah kemuliaan, lewat kuasa pencerdasan, serta kuasa kasih mereka?
Ingatkah kita, dalam peristiwa spektakuler sejarah keselamatan, saat tangan-tangan Musa, sang guru agung itu terangkat; maka, laut pun terbelah? Ingat jugakah kita, akan uluran tangan Bunda Teresa, sang biarawati tulus dari Ordo Cintakasih, ketika merangkul erat mesrah bocah-bocah sekarat di bongkah bumi India? Dan tentu, jangan segera melupakan, akan tangan-tangan lincah para jurnalis hebat kita kini, atau juga pada jemari melentik perawat yang sigap melayani pasien? Serta tentu, jangan sepelehkan akan ‘gratia dei’ lewat kuasa mengajar dan kuasa kasih yang mengalir dari tangan-tangan para guru kita, kini.
Potret Keteguhan serta Tekad Tulus Tangan-tangan Membara
Penulis menantang para guru masa kini lewat kisah heroik dari negeri tirai bambu, Cina. Dikisahkan, Patriak Zen bernama Huike, sang jenderal, panglima perang hebat dari Cina, yang akhirnya bergulat dengan dirinya, karena telah lalai memainkan kuasa tangan-tangannya. Di ujung kuasa tangan-tangannya itu, sejuta nyawa pun telah melayang. Namun apa lacur, kecerobohan masa silamnya, justru menyisakan trauma mahadalam sepanjang hayatnya. Dia telah terperangkap terpenjara, justru karena telah lalai memainkan kuasa tangannya. Kini, dia ingin membalik haluan hidupnya. Dia mau bermetanoya. Bagini modus operandinya!
Huike, akhirnya menjadi bhiksu demi ketenteraman batinnya. Namun, ternyata sebagai bhiksu, dia pun tidak bahagia. Maka, ia bertekad menemui seorang guru agung, sang Bodhidharma. Dia ingin berguru padanya. Huike memohon, agar sang Bodhidharma mau menerimanya sebagai murid. Tetapi, apa jawaban Bodhidharma? “Mempelajari ajaran sang Budha, haruslah orang berkepribadian agung. Meraih yang tidak mungkin diraih, menanggung yang tidak mungkin ditanggung. Bagaimana mungkin seorang pembunuh seperti engkau mau mengikutiku. Sadarkah kau akan dirimu?”
Mendengar tantangan sang Bodhidharma, daun-daun telinganya, ibarat mendengarkan dentuman halilintar di siang bolong. Huike segera mencabut pedang dari balik jubahnya, dan memotong tangan kirinya sendiri. Saudara guru, ternyata, untuk menjadi guru agung, pertama-tama orang harus memiliki tekad mulia; sebuah tekad bernyala membara. Inilah sebentuk tekad tangguh demi meraih kesejatian akan visi panggilan hidup. Menjadi guru agung berarti, Anda perlu memiliki tekad membara dengan bahkan, berani memotong jemarimu sendiri, sebagai simbol keberanian menyanggupi sebuah tuntutan agung, profesionalitas. Inilah komitmen dahsyat, serta sikap konsisten sebagai ciri guru masa kini; demi meraih kembali martabat keguruannya yang telah sirna. Bahkan kini, masyarakat telah memeteraikan profesi guru dengan stempel citra buruk; seperti perilaku kekerasan yang viral di media, tindak ketidakjujuran, inkompentensi profesional dan pedagogis.
Antara Fakta dan Idealisme: Guru Bertangan Terborgol, Guru Tanpa Insipirasi
“Pengajaran terbaik lahir dari nurani, bukan dari teknik. Ketika guru memiliki identitas dan integritas, maka teknik-teknik pembelajaran pun akan membantunya.” (Parker J. Palmer)
Guru-guru kita kini patut dikasihani, karena mereka adalah pribadi yang tangan-tangannya telah terborgol kaku. Seluruh kebebasan serta sikap idealisme mereka, sudah dirampas oleh kebijakan pihak otoritas lembaga pendidikan. Mereka memang terkesan rajin, lugu, serta sering rela berkorban; namun sesungguhnya, mereka bukanlah guru merdeka yang mampu menginspirasi para peserta didiknya. Mengapa? Karena tangan-tangan mereka sudah terkuras lelah demi melayani kurikulum serta strategi pengajarannya.
Mereka ibarat boneka yang siap duduk manis serta dipajankan rapi, demi mengamini amanat kurikulum. Bukti konkretnya, saat guru-guru kita mengajar, sangat jarang para peserta didik akan tersengat terinspirasi oleh ide-ide brilian para guru mereka. Artinya, hati para peserta didik tidak tersentuh akan isi pengajaran mereka, malah yang tersisa adalah riak-riak kebosanan. Hal ini mungkin mengindikasikan, sistem pengajaran yang diterapkan bersifat sangat monoton dan tanpa roh yang menggairahkan dada batin para peserta didik. Itulah buah dari sistem pengajaran yang bersifat mendikte, mengomando, serta menginstruksi. Dalam kondisi sistem pengajaran yang membelenggu, tentu akan memandulkan batin sang guru itu sendiri, serta tidak mampu menginspirasi para peserta didik. Penulis mengajukan sebuah pertanyaan retoris, “Bagaimana mungkin dalam kondisi terbelenggu terborgol, guru akan mampu menginspirasi? Bukankah, sebuah inspirasi terlahir dari kondisi kebebasan tanpa syarat?
Konkretnya, kurikulum 2013 ternyata tidak mampu menampung konsep pembelajaran yang didasari pada pembinaan budi pekerti. Karena kurikulum anyar ini memusatkan proses pembelajaran pada satu metode saintifik yang sangat pragmatis dan material. Sementara, hasil pembelajaran dinilai berdasarkan kemampuan siswa menghasilkan barang. Jadi, ke mana arah serta roh pendidikan kita? Kurikulum anyar ini, ternyata tidak mampu menjawab pertanyaan tentang rancangan pembelajaran yang didasarkan pada pendidikan budi pekerti. (Saiful Rohman, Mengajar Murid Kurang Ajar, Kompas/18/11/2017).
Jika demikian, mampukah para guru masa kini, merebut hati para peserta didik yang sudah keranjingan teknologi digital sebagai generasi multitasking, yang doyan melakukan beberapa aktivitas sekaligus secara bersama? Sadarkan para rekan umar bakri itu, bahwa para peserta didik mereka kini adalah generasi yang memiliki pola komunikasi serta cara berpikir, bertutur, bertindak, serta kebiasaan-kebiasaan sendiri sebagai ekses dari kecanggihan digital? Hasilnya, yang hadir di hadapan para guru kini, adalah sebuah generasi terluka yang serba galau, menuntut, labilitas, serta tidak mampu menghargai sebuah proses. Semua fenomena ini adalah buah-buah ranum sebagai ekses kecanduhan internet, bukan?
Dalam kondisi chaos ini, dunia edukasi kita membutuhkan guru yang bertipe ideal. Guru yang secara filosofis, disebut sebagai Guru bertipe Gembala (GbG). Apa yang akan dilakukan Guru bertipe Gembala? Mari kita mencoba mengangkat salah satu model pendekatan ideal itu. Guru ideal, perlu rela serta ikhlas untuk masuk melalui pintu kesadaran para peserta didik, dan saat keluar, baru melalui gerbang kesadaran ideal seorang guru. “Letakkan kehendakmu ke dalam kehendak para peserta didikmu, serta ikhlaslah untuk menerima dan memahami aspirasi mereka”. Tentu, secara mental psikologis, ada risikonya, bahwa sanggupkah para guru kita untuk turut berenang mengarungi samudera biru dunia remaja? Dan jika para guru masih mau terus memasang topeng gengsi, sok kuasa, sok tahu; maka kita tidak akan pernah mampu merebut hati para peserta didik. Saya pun teringat akan ucapan seorang kaiser arif dari negeri Cina, “Jika seorang remaja marah, maka lebih mudah mengalirkan sungai dari lembah ke puncak gunung, daripada merebut kembali hati remaja yang marah itu.”
Maka, belajarlah untuk mamahami dunia para peserta didik kita. Karena mereka itu ibarat rembulan, kata orang bijak, di satu pihak ada sisi kecemerlangan, tetapi di sisi yang lain, gelap pekat. Itulah ciri umum karakter psikologis para peserta didik selaku remaja. Maka, pahami eksistensi mereka dan berusaha untuk tidak mudah terjerumus dengan selalu menggeneralisasikannya.
Maka, konsep Guru bertipe Gembala (GbG) tidak dapat ditawar menawar lagi, jika kita ingin keluar dari kemelut laten ini. Setiailah sebagai GbG, dan bukan Guru bertipe Makelar (GbM), yang memanfaatkan profesi keguruannya demi meraup uang. Atau Guru bertipe Sipir Penjara (GbSP), yang akan sakit hati, jika ternyata para peserta didiknya lebih tertarik dan mau berguru kepada sosok guru yang lebih bermutu. Guru bertipe Gembala, memang sudah tidak mudah dijumpai lagi, karena Guru model ini memiliki prinsip-prinsip agung, antara lain, ikhlas mempersembahkan dirinya secara utuh total, memiliki kedewasaan bersikap, berkonsistensi, serta berdisiplin teruji; keutuhan moralitas, serta sebagai pendoa dan pengampun sejati.
Menjadi Guru bertipe Gembala (GbG), juga perlu memiliki kecerdasan ganda (IQ, EQ, SQ), serta setia mengusung paket pelengkapnya sebagai pendidik, lewat semboyan pendidikan nasional yang dicetuskan Ki Hadjar Dewantara, “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan). ”Jika dianalogikan dengan militer, guru adalah pasukan infanteri, mereka yang terdepan di dalam peperangan melawan musuh, yakni kebodohan dan kejumudan,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat berpidato pada peringatan Hari Guru Nasional, di Jakarta, Sabtu (25/11/2017).
Lewat seruan Tuhan, “Aku tidak mempunyai tangan lagi, kecuali tangan-tanganmu”, Anda, selaku Guru bertipe Gembala, akan sanggup menyerahkan nyawa bagi para peserta didikmu. Dan semoga, lewat dahsyatnya gaung spiritualitas hati, kita pun akan mampu meneladani Sang Guru Agung, dalam remang cahaya kepedulian dan kesederhanaan, “In Sollicitudine et Simplicitate.”
Fr. M. Christoforus P. Lourdes, BHK